Kapolri yang akan datang diprediksi akan menghadapi beban berat. Apalagi belakangan citra Polri sedang terkoyak banyak masalah, misalnya kasus Cicak dan Buaya, serta kasus Gayus Tambunan. Selain memperbaiki citra Polri yang tercoreng, Kapolri mendatang juga harus membenahi banyak hal di institusi Polri. Misalnya soal kinerja para personel dalam melindungi dan melayani masyarakat, yang menjadi moto Polri.
Lantas apa saja yang akan menjadi pekerjaan rumah Kapolri mendatang? Berikut petikan wawancara detikcom dengan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala di Kampus UI, Depok beberapa waktu lalu:
Saat ini di Polri akan terjadi pergantian Kapolri. kira-kira apa tugas saja yang jadi priortas bagi Kapolri mendatang untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya?
Untuk tugas-tugas Kapolri mendatang kita harus bagi 2 dahulu, yakni soal manajemen dan policing. Kalau manjemen itu kita bisa bicarakan anggaran, logistik, struktur. Sementara policing adalah ketika mereka menggerakan powernya atau kewenangannya guna menciptakan masyarakat yang tertib dan adil.
Kalau bicara mengenai personel, maka pertanyaan apakah institusi Polri harus sebesar itu perlu digugat atau diangkat kembali. Sebab ke depan Polri akan lebih mengutamakan teknologi. Dengan teknlogi itu bisa mengurangi jumlah manusia. Jadi untuk apa memperbanyak jumlah orang yang banyak menyerap anggaran Polri. Dari total anggaran Polri yang dialokasikan APBN sebesar 22 triliun, 75 persen anggarannya terserap untuk bayar gaji. Padahal jika personelnya dikurangi akan menekan anggaran bagi Polri. Bisa saja gaji masing-masing personelnya jadi semakin tinggi, tambah banyak tunjangannya dan mereka semakin happy dengan bantuan teknologi.
Berarti Polri harus berhenti dalam merekrut anggota baru?
Tentu saja. Selain itu Polri juga harus memperhatikan soal rekrutmen. Sebab selama ini yang kita tahu selalu saja mengalami perubahan dalam perekrutan. Selama ini ada sistem satu pintu dan multipintu, kemudian berubah ada Akpol S1, sekarang berubah lagi ada akpol D3 dan ada bintara D1. Menurut saya sebaiknya sudahlah jangan berubah-ubah lagi. Yang ajeg (baku) sajalah.
Apa alasan perubahan-perubahan dalam sistem rekrutmen?
Masing-masing Kapolri punya kebijakan masing-masing soal rekrutmen. Jadi ganti Kapolri biasanya ganti sistem rekrutmen. Makanya kepada kapolri yang baru saya berharap tidak ada lagi perubahan-perubahan dalam perekrutan personel.
Lalu bagaimana dengan pengawasan?
Nah ini dia, di organisasi Polri ini memang unik. Sebab penilaian kinerja anggota,terutama menyangkut promosi, mutasi dan demosi,tidak menggunakan patokan key performance indicators (KPI). Padahal dengan sistem penilaian tersebut kinerja masing-masing jabatan bisa terlihat.
Untuk itu harapan saya kepada Kapolri yang baru tolong dibuat penilaian kinerja. Dan dari situlah kita bisa menilai orang apakah orang tersebut menjalankan tugasnya atau tidak. Dan dari penilaian itu akan jadi pertimbangan untuk memutasikan, mempromosikan, atau mendemosikan kalau perlu.
Sampai saat ini, dari 2 ribuan lebih job di Polri, dari Kapolri hingga hingga sopir. Hanya ada 300-400 job yang memiliki KPI. Jadi hanya sedikit yang memiliki KPI dan yang sedikit itu pun tidak dihargai. Padahal mana ada organisasi profesional bekerja bukan atas dasar KPI. Sebab dasar penilaian itulah yang harusnya bisa dijadikan parameter kinerja. Apakah layak dipromsikan atau dimutasi.
Selama ini Polri selalu berteriak profesional sementara dasar kenaikan pangkat atau tunjangan semua serba otomatis. Padahal orang yang berhak mendapat promosi berdasarkan skala yang sudah ditetap kan dalamsistem KPI tersebut. Selama ini penilaian di tubuh polri lebih karena kedekatan atau berdasarkan senioritas.
Mengenai tugas-tugas Kapolri, kira-kira di kesatuan mana yang harus dibenahi?
Seperti yang BHD bilang kita keroyok serse. Sebab selama ini siapapun Kapolri-nya belum ada yang bisa mengubah cara kerja. Sebab kasus-kasus yang ditangani sifatnya personal. Jadi penyidik bisa pilih-pilih kasus yang ditangani karena sifatnya personal. Jadi untuk mengubah serse yang paling utama adalah cara kerjanya.
Selama ini di tubuh serse seorang penyidik tidak tahu kasus yang ditangani penyidik lainnya. Jadi kalau penyidik yang menangani suatu perkara sedang berhalangan atau diganti. Penyidik yang baru tidak tahu apa-apa. Dan parahnya, dengan cara kerja seperti itu sangat membuka peluang kolusi. Sebab seorang penyidik menjadi tuan besar dalam kasus yang ditangani.
Jadi jangan keroyok serse dengan mengintruksikan tidak terima duitnya. Itu percuma. Yang terpenting pimpinan Polri harus merubah cara kerja dilingkungan serse. Ketika penyidikan berjalan transparan, maka akan sulit bagi penyidik untuk main-main dengan kasus yang ditanganinya.
Lalu bagaimana di Lantas?
Kalau di Lantas praktis tidak banyak problem. Sebab sejauh ini sudah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan. Hanya kalau kita mau minta perhatian pada Kapolri baru, lebih pada transparansi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengurusan SIM, STNK, dan BPKB.
Karena PNBP adalah dana publik yang bisa diases publik mengenai penggunaanya, maka penggunaan PNBP harus transparan. Memang pada bagian Dirlantas misalnya, ada bagian. Misalnya kita bayar SIM Rp 55 ribu, maka sebanyak Rp 35 ribu untuk negara dan sisanya yang Rp 20 ribu untuk dibagi-bagi tergantung jabatan. Jangan sampai penggunaannya salah yang mengakibatkan petugas lantas diseret ke KPK.
Sementara Samapta, adaah suatu pekerjaan yang bersifat preventif dan pengaruhnya indirect atau tidak langsung. Jadi begini kalau orang yang ingin berbuat jahat lalu melihat polisi berseragam maka orang tersebut tertangkal untuk melakukan kejahatan. Tapi moral kerja personel Samapta rendah. Sebab mereka menganggap samapta bukan pekerjaan basah jadi kurang semangat. Beda dengan serse, yang berpakaian sipil. Kalau Samapta mau minta duit malu dengan seragamnya.
Lagi pula apa yang membuat orang ngasih duit ke Samapta. Kalau ke serse kan jelas menyangkut status hukum. Sehingga berpeluang untuk dimanipulasi. Kalau Samapta paling uang receh, baik dari pengawalan atau tugas jaga.
Karena itu polisi yang baik-baik kebanyakan di Samapta. Untuk menjaganya, pimpinan harus meningkatkan biaya operasionalnya serta tunjangannya. Sebab tugas Samapta ini berkeliling atau patroli. Kalau tidak dimodali bensin atau operasionalnya mereka akan minta kemana-mana
http://www.detiknews.com/read/2010/10/04/164909/1455199/159/adrianus-serse-punya-peluang-kolusi-tinggi.
Lantas apa saja yang akan menjadi pekerjaan rumah Kapolri mendatang? Berikut petikan wawancara detikcom dengan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala di Kampus UI, Depok beberapa waktu lalu:
Saat ini di Polri akan terjadi pergantian Kapolri. kira-kira apa tugas saja yang jadi priortas bagi Kapolri mendatang untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya?
Untuk tugas-tugas Kapolri mendatang kita harus bagi 2 dahulu, yakni soal manajemen dan policing. Kalau manjemen itu kita bisa bicarakan anggaran, logistik, struktur. Sementara policing adalah ketika mereka menggerakan powernya atau kewenangannya guna menciptakan masyarakat yang tertib dan adil.
Kalau bicara mengenai personel, maka pertanyaan apakah institusi Polri harus sebesar itu perlu digugat atau diangkat kembali. Sebab ke depan Polri akan lebih mengutamakan teknologi. Dengan teknlogi itu bisa mengurangi jumlah manusia. Jadi untuk apa memperbanyak jumlah orang yang banyak menyerap anggaran Polri. Dari total anggaran Polri yang dialokasikan APBN sebesar 22 triliun, 75 persen anggarannya terserap untuk bayar gaji. Padahal jika personelnya dikurangi akan menekan anggaran bagi Polri. Bisa saja gaji masing-masing personelnya jadi semakin tinggi, tambah banyak tunjangannya dan mereka semakin happy dengan bantuan teknologi.
Berarti Polri harus berhenti dalam merekrut anggota baru?
Tentu saja. Selain itu Polri juga harus memperhatikan soal rekrutmen. Sebab selama ini yang kita tahu selalu saja mengalami perubahan dalam perekrutan. Selama ini ada sistem satu pintu dan multipintu, kemudian berubah ada Akpol S1, sekarang berubah lagi ada akpol D3 dan ada bintara D1. Menurut saya sebaiknya sudahlah jangan berubah-ubah lagi. Yang ajeg (baku) sajalah.
Apa alasan perubahan-perubahan dalam sistem rekrutmen?
Masing-masing Kapolri punya kebijakan masing-masing soal rekrutmen. Jadi ganti Kapolri biasanya ganti sistem rekrutmen. Makanya kepada kapolri yang baru saya berharap tidak ada lagi perubahan-perubahan dalam perekrutan personel.
Lalu bagaimana dengan pengawasan?
Nah ini dia, di organisasi Polri ini memang unik. Sebab penilaian kinerja anggota,terutama menyangkut promosi, mutasi dan demosi,tidak menggunakan patokan key performance indicators (KPI). Padahal dengan sistem penilaian tersebut kinerja masing-masing jabatan bisa terlihat.
Untuk itu harapan saya kepada Kapolri yang baru tolong dibuat penilaian kinerja. Dan dari situlah kita bisa menilai orang apakah orang tersebut menjalankan tugasnya atau tidak. Dan dari penilaian itu akan jadi pertimbangan untuk memutasikan, mempromosikan, atau mendemosikan kalau perlu.
Sampai saat ini, dari 2 ribuan lebih job di Polri, dari Kapolri hingga hingga sopir. Hanya ada 300-400 job yang memiliki KPI. Jadi hanya sedikit yang memiliki KPI dan yang sedikit itu pun tidak dihargai. Padahal mana ada organisasi profesional bekerja bukan atas dasar KPI. Sebab dasar penilaian itulah yang harusnya bisa dijadikan parameter kinerja. Apakah layak dipromsikan atau dimutasi.
Selama ini Polri selalu berteriak profesional sementara dasar kenaikan pangkat atau tunjangan semua serba otomatis. Padahal orang yang berhak mendapat promosi berdasarkan skala yang sudah ditetap kan dalamsistem KPI tersebut. Selama ini penilaian di tubuh polri lebih karena kedekatan atau berdasarkan senioritas.
Mengenai tugas-tugas Kapolri, kira-kira di kesatuan mana yang harus dibenahi?
Seperti yang BHD bilang kita keroyok serse. Sebab selama ini siapapun Kapolri-nya belum ada yang bisa mengubah cara kerja. Sebab kasus-kasus yang ditangani sifatnya personal. Jadi penyidik bisa pilih-pilih kasus yang ditangani karena sifatnya personal. Jadi untuk mengubah serse yang paling utama adalah cara kerjanya.
Selama ini di tubuh serse seorang penyidik tidak tahu kasus yang ditangani penyidik lainnya. Jadi kalau penyidik yang menangani suatu perkara sedang berhalangan atau diganti. Penyidik yang baru tidak tahu apa-apa. Dan parahnya, dengan cara kerja seperti itu sangat membuka peluang kolusi. Sebab seorang penyidik menjadi tuan besar dalam kasus yang ditangani.
Jadi jangan keroyok serse dengan mengintruksikan tidak terima duitnya. Itu percuma. Yang terpenting pimpinan Polri harus merubah cara kerja dilingkungan serse. Ketika penyidikan berjalan transparan, maka akan sulit bagi penyidik untuk main-main dengan kasus yang ditanganinya.
Lalu bagaimana di Lantas?
Kalau di Lantas praktis tidak banyak problem. Sebab sejauh ini sudah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan. Hanya kalau kita mau minta perhatian pada Kapolri baru, lebih pada transparansi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengurusan SIM, STNK, dan BPKB.
Karena PNBP adalah dana publik yang bisa diases publik mengenai penggunaanya, maka penggunaan PNBP harus transparan. Memang pada bagian Dirlantas misalnya, ada bagian. Misalnya kita bayar SIM Rp 55 ribu, maka sebanyak Rp 35 ribu untuk negara dan sisanya yang Rp 20 ribu untuk dibagi-bagi tergantung jabatan. Jangan sampai penggunaannya salah yang mengakibatkan petugas lantas diseret ke KPK.
Sementara Samapta, adaah suatu pekerjaan yang bersifat preventif dan pengaruhnya indirect atau tidak langsung. Jadi begini kalau orang yang ingin berbuat jahat lalu melihat polisi berseragam maka orang tersebut tertangkal untuk melakukan kejahatan. Tapi moral kerja personel Samapta rendah. Sebab mereka menganggap samapta bukan pekerjaan basah jadi kurang semangat. Beda dengan serse, yang berpakaian sipil. Kalau Samapta mau minta duit malu dengan seragamnya.
Lagi pula apa yang membuat orang ngasih duit ke Samapta. Kalau ke serse kan jelas menyangkut status hukum. Sehingga berpeluang untuk dimanipulasi. Kalau Samapta paling uang receh, baik dari pengawalan atau tugas jaga.
Karena itu polisi yang baik-baik kebanyakan di Samapta. Untuk menjaganya, pimpinan harus meningkatkan biaya operasionalnya serta tunjangannya. Sebab tugas Samapta ini berkeliling atau patroli. Kalau tidak dimodali bensin atau operasionalnya mereka akan minta kemana-mana
http://www.detiknews.com/read/2010/10/04/164909/1455199/159/adrianus-serse-punya-peluang-kolusi-tinggi.