Hanya ada dua polisi bersih: Kapolri Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Demikian guyonan mendiang Presiden Gus Dur, demikian juga yang dirasakan masyarakat. Korupsi menyelimuti petugas lapangan hingga jenderal berbintang, pada semua jenis pekerjaan.
Polri adalah lembaga paling korup di Indonesia republik ini. Demikian persepsi masyarakat terhadap kepolisian, sebagaimana tercermin dalam laporan Transparency Internasional Indonesia (TII), Desember 2007. Walau laporan hasil survei ini sudah tiga tahun lalu, tapi persepsi masyarakat terhadap Polri belum berubah. Apalagi belakangan ini, justru banyak kasus korupsi dan suap yang melibatkan jajaran kepolisian.
Itulah sebabnya, walau institusi ini berhasil dalam mengungkap berbagai kasus kriminalitas, bahkan terorisme, tapi persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap lembaga ini masih rendah. Apalagi, kenyataan sehari-hari yang menunjukkan bobroknya institusi ini, tidak pernah hilang: pungli di jalanan, jual beli perkara dalam penyelidikan dan penyidikan, dll.
Menurut peneliti TII, Frangky Simanjuntak, yang dihubungi detikcom di Jakarta, Sabtu (2/10/2010), bersama parlemen, lembaga peradilan dan partai politik, institusi kepolisian dinilai sangat buruk berdasar Global Corruption Barometer (GCB) 2007. Kenyataan tersebut mengukuhkan hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 yang dikeluarkan oleh TII yang menempatkan lembaga tersebut di peringkat atas atau terkorup.
Temuan-temuan penting GCB 2007, antara lain menunjukan adanya 1 dari 10 orang di seluruh dunia harus membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Praktik suap secara khusus menyebar dalam interaksi dengan polisi, lembaga peradilan dan lembaga pelayanan perijinan. GCB 2007 menmunjukkan, banyak responden mengaku lembaga kepolisian adalah yang paling bermasalah dalam membayar suap. Di dunia ini, satu dari empat orang yang pernah berhubungan langsung dengan polisi dimintai uang pelicin, dan satu dari enam orang mengaku membayar suap.
Sementara, dalam konteks Indonesia, persentasi responden yang membayar suap mencapai 31 persen. Dibandingkan dengan institusi lain, kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perizinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup.
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian. Pertama, zona pelayanan dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya; kedua zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum; ketiga zona fiskal atau anggaran, di mana pos belanja barang, khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente; keempat, zona manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis.
Contoh zona pertama adalah praktik uang suap untuk mendapatkan surat keterangan, surat izin mengemudi, sampai surat kendaraan. Contoh zona kedua, adalah jual beli kasus, mulai tingkat Polres yang melibatkan pencurian ayam, sampai jual beli kasus pajak yang melibatkan sejumlah perwira tinggi.
Contoh zona keempat, yang paling fenomenal adalah kasus jarkom pada tingkat Mabes, dan tentu saja dengan nilai berbeda hal itu juga terjadi pada tingkat Polda, Polres dan Polsek. Untuk zona empat, sebagai ilustrasi adalah hasil penelitian seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang dilakukan terhadap 19 Polda. Penelitian itu menemukan fakta, bahwa untuk menjadi seorang polisi harus membayar pelicin hingga Rp 40 juta.
Tahun 2006 lalu, Komisi III DPR pernah mendesak KPK untuk mengungkap kasus korupsi di kepolisian. Kasus korupsi yang menghebohkan adalah dalam pengadaan mesin sidik jari dan peralatan telekomunikasi, atau dikenal dengan kasus jarkom. Waktu itu Komisi III sempat menyepakati untuk menggunakan hak angket untuk menyikapi kasus korupsi itu, meski akhirnya tenggelam begitu saja.
Dalam Konferensi ke-19 International Criminal Police Organization (ICPO) pada April 2006, Presiden SBY pernah meminta pemberantasan korupsi dimulai dari kepolisian. Begitu juga dalam penanganan kasus korupsi, aparat kepolisian dan jaksa juga dinilai lamban, bahkan seringkali tidak ditindaklanjuti tanpa kejelasan kepada publik.
Kenyataan tersebut menunjukan bahwa komitmen Presiden SBY untuk memberantas korupsi ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan aparat kepolisian dan kejaksaan. Hal ini juga tidak menutup kenyataan, bahwa kinerja lembaga pemberantasan korupsi juga belum memuaskan.
TII merekomendasikan agar KPK menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, KPK harus lebih mengutamakan fungsi supervisi dan koordinasi supaya kejaksaan dan kepolisian bisa berperan lebih efektif dalam memberantas korupsi.
Pemerintah juga diminta mempercepat proses reformasi birokrasi di institusi lembaga penegak hukum termasuk kepolisian. Reformasi birokrasi juga harus diikuti perubahan organisasi yang lebih efektif, efisien, dan transparan, serta aturan kepegawaian yang lebih berintegritas.
Polri adalah lembaga paling korup di Indonesia republik ini. Demikian persepsi masyarakat terhadap kepolisian, sebagaimana tercermin dalam laporan Transparency Internasional Indonesia (TII), Desember 2007. Walau laporan hasil survei ini sudah tiga tahun lalu, tapi persepsi masyarakat terhadap Polri belum berubah. Apalagi belakangan ini, justru banyak kasus korupsi dan suap yang melibatkan jajaran kepolisian.
Itulah sebabnya, walau institusi ini berhasil dalam mengungkap berbagai kasus kriminalitas, bahkan terorisme, tapi persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap lembaga ini masih rendah. Apalagi, kenyataan sehari-hari yang menunjukkan bobroknya institusi ini, tidak pernah hilang: pungli di jalanan, jual beli perkara dalam penyelidikan dan penyidikan, dll.
Menurut peneliti TII, Frangky Simanjuntak, yang dihubungi detikcom di Jakarta, Sabtu (2/10/2010), bersama parlemen, lembaga peradilan dan partai politik, institusi kepolisian dinilai sangat buruk berdasar Global Corruption Barometer (GCB) 2007. Kenyataan tersebut mengukuhkan hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 yang dikeluarkan oleh TII yang menempatkan lembaga tersebut di peringkat atas atau terkorup.
Temuan-temuan penting GCB 2007, antara lain menunjukan adanya 1 dari 10 orang di seluruh dunia harus membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Praktik suap secara khusus menyebar dalam interaksi dengan polisi, lembaga peradilan dan lembaga pelayanan perijinan. GCB 2007 menmunjukkan, banyak responden mengaku lembaga kepolisian adalah yang paling bermasalah dalam membayar suap. Di dunia ini, satu dari empat orang yang pernah berhubungan langsung dengan polisi dimintai uang pelicin, dan satu dari enam orang mengaku membayar suap.
Sementara, dalam konteks Indonesia, persentasi responden yang membayar suap mencapai 31 persen. Dibandingkan dengan institusi lain, kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perizinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup.
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian. Pertama, zona pelayanan dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya; kedua zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum; ketiga zona fiskal atau anggaran, di mana pos belanja barang, khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente; keempat, zona manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis.
Contoh zona pertama adalah praktik uang suap untuk mendapatkan surat keterangan, surat izin mengemudi, sampai surat kendaraan. Contoh zona kedua, adalah jual beli kasus, mulai tingkat Polres yang melibatkan pencurian ayam, sampai jual beli kasus pajak yang melibatkan sejumlah perwira tinggi.
Contoh zona keempat, yang paling fenomenal adalah kasus jarkom pada tingkat Mabes, dan tentu saja dengan nilai berbeda hal itu juga terjadi pada tingkat Polda, Polres dan Polsek. Untuk zona empat, sebagai ilustrasi adalah hasil penelitian seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang dilakukan terhadap 19 Polda. Penelitian itu menemukan fakta, bahwa untuk menjadi seorang polisi harus membayar pelicin hingga Rp 40 juta.
Tahun 2006 lalu, Komisi III DPR pernah mendesak KPK untuk mengungkap kasus korupsi di kepolisian. Kasus korupsi yang menghebohkan adalah dalam pengadaan mesin sidik jari dan peralatan telekomunikasi, atau dikenal dengan kasus jarkom. Waktu itu Komisi III sempat menyepakati untuk menggunakan hak angket untuk menyikapi kasus korupsi itu, meski akhirnya tenggelam begitu saja.
Dalam Konferensi ke-19 International Criminal Police Organization (ICPO) pada April 2006, Presiden SBY pernah meminta pemberantasan korupsi dimulai dari kepolisian. Begitu juga dalam penanganan kasus korupsi, aparat kepolisian dan jaksa juga dinilai lamban, bahkan seringkali tidak ditindaklanjuti tanpa kejelasan kepada publik.
Kenyataan tersebut menunjukan bahwa komitmen Presiden SBY untuk memberantas korupsi ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan aparat kepolisian dan kejaksaan. Hal ini juga tidak menutup kenyataan, bahwa kinerja lembaga pemberantasan korupsi juga belum memuaskan.
TII merekomendasikan agar KPK menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, KPK harus lebih mengutamakan fungsi supervisi dan koordinasi supaya kejaksaan dan kepolisian bisa berperan lebih efektif dalam memberantas korupsi.
Pemerintah juga diminta mempercepat proses reformasi birokrasi di institusi lembaga penegak hukum termasuk kepolisian. Reformasi birokrasi juga harus diikuti perubahan organisasi yang lebih efektif, efisien, dan transparan, serta aturan kepegawaian yang lebih berintegritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar