Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Februari 2010

Sahabat atau Selingkuhan?

Bisa jadi Anda tidak menyadari, sahabat yang selama ini sangat Anda percayai sudah berubah status menjadi selingkuhan. Untuk lebih meyakinkan Anda, perhatikan beberapa tanda awal perselingkuhan yang berawal i persahabatan berikut ini.


Persahabatan sudah melewati batas bila Anda:
1. Menyentuh sahabat lelaki Anda dengan cara yang "penuh perhatian".
2. Sangat memperhatikan penampilan Anda ketika akan bertemu degannya.
3. Bertingkah seperti orang yang sedang jatuh cinta, misalnya teringat dia ketika mendengarkan sebuah lagu.
4. Bercerita lebih detail kepadanya tentang hari Anda dibandingkan dengan pasangan.
5. Tidak lagi merasa nyaman menceritakan tentang sahabat Anda ini kepada pasangan dan mulai menutup-nutupi hubungan Anda dengannya.
6. Mengalami ketertarikan secara fisik.

Hubungan Anda dan sahabat lelaki sudah benar-benar merupakan affair bila:
1. Anda lebih memilih berada bersama dia ketika Anda sedang merasa sedih, daripada berada bersama pasangan, keluarga atau sahabat-sahabat Anda yang lain.
2. Hubungan Anda dan dia menjadi lebih intim. Anda berbicara dengannya dengan nada menggoda atau manja.
3. Anda lebih memilih tempat dimana Anda bisa berdua saja dengannya.

Meski demikian, bukan berarti Anda tak boleh menjalin persahabatan dengan lawan jenis. Persahabatan itu aman dari perselingkuhan asalkan Anda mampu membentengi diri dengan cara:
1. Selalu jujur pada pasangan Anda. Berbagilah dengannya tentang harapan, keberhasilan, dan kegagalan Anda, juga mengenai ketertarikan dan godaan yang Anda hadapi.
2. Luangkan waktu berdua dengan pasangan secara reguler.
3. Bergaulah dengan pasangan-pasangan yang selalu bahagia dan tidak pernah melakukan hal-hal bodoh seperti perselingkuhan. Mempunyai "role model" dalam kehidupan Anda dan pasangan akan menjaga Anda untuk tetap setia.

Tanda-tanda Lelaki Hanya Ingin Seks

Perempuan harus lebih berhati-hati memilih pasangan, karena ada sekelompok laki-laki yang hanya ingin memuaskan hasrat seksual kepada pasangannya, namun enggan berkomitmen. Berikut beberapa tanda yang harus diwaspadai:


1. Waspadai chatroom

Jika dia hanya mau berkomunikasi dengan Anda via chattroom, email, atau pesan-pesan pendek di ponsel, bisa jadi dia tidak serius dengan hubungan yang Anda jalani berdua. Berbicaa hanya melalui teks, menunjukkan dia tidak ingin diinterupsi, dan tidak mau mendengarkan Anda.

2. Mendeskripsikan diri sebagai orang bebas

Sejak awal menjalin hubungan, dia seringkali menyatakan diri sebagai orang bebas, dan tak suka terikat dalam komitmen. Menemui lelaki tipe ini, tak usahlah berharap banyak dia akan berubah seiring waktu. Bila Anda memang ingin serius, jangan coba mengorbankan waktu dan perasaaan Anda untuk orang ini.

3. Selalu berkencan di tempat yang sama

Anda perlu waspada jika dia selalu mengajak Anda makan malam di tempat yang sama. Hal itu menunjukkan banyak hal; pertama, ada kemungkinan dia 'aman' di tempat itu, di restoran lain, bisa saja dia sudah nyaman dengan perempuan lain. Repetisi itu juga menunjukkan dia hanya menyukai tempat yang sudah dikenalnya, dan tidak berusaha mendengarkan kemauan Anda.

4. Terlalu murah janji
Di awal-awal hubungan, dia sudah mulai merayu Anda dengan menceritakan betapa indahnya berumahtangga, berbulan madu, dan memiliki anak-anak. Intinya, dia hanya ingin segera membawa Anda ke tempat tidur!

5. Mengajak kencan tanpa direncanakan

"Sayang, tiba-tiba aku kangen kamu. Kujemput sekarang ya, kita makan malam," ujarnya di telpon menjelang tengah malam. "So sweet.. berarti dia benar-benar merindukanku" salah besar jika Anda berpikir demikian. Jika memang dia serius, dia akan merencanakan janji kencan, bukan mengajak Anda bertemu secara tiba-tiba. Lagipula, waktunya tidak tepat, menjelang tengah malam. Toh, bila dia benar-benar kangen sekalipun, masih ada esok hari untuk berjumpa.

6. Menghindari pembicaraan pribadi
Bila dia hanya ingin bersenang-senang dengan Anda, dia tak pernah memberikan kesempatan untuk berbicara soal pribadi, keluarga, dan teman-teman Anda. Setiap kali berkencan, topik pembicaraan hanya berkisar soal film-film terbaru, musik, atau jadwal pertandingan Liga Champion.

7. Menutup diri
Dia tak pernah memperkenalkan Anda pada teman-teman dan keluarganya.

8. Selalu mengarah pada kedekatan fisik

Tanda paling jelas bahwa dia hanya menginginkan tubuh Anda adalah, setiap saat, pembicaraan dan sikap tubuhnya selalu mengarah pada seks. Dia selalu ingin memeluk, tangannya 'nakal', bicaranya 'kotor'. Sudahlah, lebih baik menyingkir dari lelaki ini!

Hati-hati Selingkuh Hati!

Selingkuh seperti sebuah kecelakaan tak disengaja yang lalu dinikmati efek 'tabrakannya'. Seperti juga mencuri mangga tetangga terasa lebih nikmat daripada beli sendiri. Begitulah kira-kira perumpamannya. Ada rasa takut yang menyelip tetapi nikmat, seperti adrenalin yang berpacu di dalam tubuh.

Lalu, muncul di sesela hati tentang perasaan lain, mulai membeda-bedakan apa yang didapat di dalam rumah dengan yang didapatnya di luar rumah. Ada perasaan hangat teraliri dalam tubuh karena merasa diperhatikan, lalu parahnya timbul perlahan rasa takut kehilangan pada orang yang salah. Aneh? Tidak juga.

Fenomena selingkuh memang sudah makin merajai di kalangan wanita bekerja. Di tengah himpitan beban pekerjaan yang menumpuk, tak lagi intens membuka komunikasi dengan suami dan hanya sebatas membahas hal-hal penting saja, tentang anak atau keperluan rumah tangga, ditengarai sebagai pemicu terjadinya perselingkuhan.

Tak dipungkiri, wanita butuh mengungkapkan perasaan mereka dan curhat menjadi sarana yang tepat. Dimulai dari sekedar makan siang bersama sahabat pria, curhat tentang pekerjaan lalu makin akrab dan tak sadar telah melanggar batas-batas yang ada, menjurus pada persoalan pribadi.

Memang betul pepatah yang mengatakan, terlalu berlebihan itu memang tidak baik. Begitu juga saat curhat, jika dosisnya berlebihan dan terus berkembang ke arah obrolan mesra, berhati-hatilah. 'Bahaya curhat' mengintai saat Anda dan pasangan selingkuh mulai main kucing-kucingan, bertemu dan berkomunikasi di jam-jam yang telah disepakati bersama. Tak dipungkiri makin canggihnya teknologi yang memberi kemudahan komunikasi tanpa batas, baik lewat sms atau chatting di 'kotak pesan', para selingkuhers berlomba-lomba melakukan dosa indah. Acara 'kopi darat' pun jadi semakin lancar jaya.

Kondisi inilah yang lalu memunculkan emotional affair atau dalam istilah umumnya, selingkuh hati. Hal ini terjadi karena kita merasa memiliki 'chemistry' dengan pria selain pasangan. Bukan tentang berbagi kenikmatan bersetubuh saja, tetapi lebih karena hati dan perasaan yang terlibat di dalamnya. Sensasi 'cinta terlarang' yang menggelora itu bahkan sama dengan kenikmatan saat intim. Inilah yang kemudian diistilahkan dengan head sex.

Konon banyak orang mengatakan bahwa pria lebih senang melakukan perselingkuhan tubuh tanpa melibatkan hati (no hard feeling). Sedang wanita sebaliknya, cenderung melibatkan perasaan mereka. Hal ini tentu saja berdampak parah bagi wanita. Saat wanita disibukkan dengan khayalan dibuai 'cinta terlarang', para prianya malah merasa biasa-biasa saja.

Tak dipungkiri juga, saat pria intens membuka komunikasi dengan sahabat perempuannya, para pria itu menyelipkan hidden agenda yaitu curhat berakhir sesi 'get laid' dengan sahabat perempuan. Fatalnya, jika ini sudah terpenuhi maka gairah perselingkuhan itupun tak lagi membara. Sementara di lain sisi, wanita sudah terlanjur melibatkan hati dan emosinya, hingga semakin sulit melepaskan dan timbul rasa ingin memiliki. Gotcha!, inilah akibatnya, para wanita itupun lalu terjebak dalam hubungan tanpa status.

Lalu, jika Anda sudah terlibat selingkuh hati, apakah lebih baik mengakui hal ini kepada pasangan atau lebih baik diam? Jawabannnya, tergantung pada situasi dan niat. Jika ingin tetap mempertahankan cinta terlarang itu, maka perkawinan Anda beresiko bubar jalan. Namun jika memilih mengakui cinta terlarang itu hadir dalam perkawinan Anda dan pasangan, maka konsekuensinya pasangan Anda akan kecewa dan itu tugas Anda untuk menyembuhkan luka hatinya.

Bila Anda memilih mengakhiri 'cinta terlarang' itu, ada baiknya segera hentikan semua bentuk tindakan yang mengarah pada penunjukan rasa sayang, seperti ngobrol mesra atau janji kencan. Bicarakan hal ini dari hati ke hati dengan pasangan. Saat melakukan 'pengakuan dosa', pertimbangkan juga momen yang tepat dan kesiapan mental pasangan, ini mencegah agar tak menimbulkan masalah baru. Dengan kepala dingin, Anda dan pasangan bisa saling instropeksi dan mencari win-win solution.

Selingkuh hati adalah 'alarm pembangun'. Saat mulai terjadi ketidakberesan dalam perkawinan Anda, alarm itu akan berbunyi. Agar alarm peringatan itu tak berbunyi, mulailah ciptakan kebersamaan dan keterbukaan dengan pasangan setiap saat. Sebagai contoh, Anda bisa meluangkan waktu sejenak setelah pulang kantor untuk bermanja-manja dengan pasangan.

Perlu Anda ketahui, selingkuh apapun itu jenisnya adalah bentuk pelarian sesaat. Selingkuh hanyalah milik pengecut yang tidak bisa menerima kenyataan hidup. Sebelum berujung menyakitkan hati Anda, teman selingkuh Anda, dan masing-masing pasangan, segeralah perselingkuhan itu diakhiri. Anda tentu tidak akan mau 'terbakar' kan?, jadi jangan pernah 'bermain api'.

Senin, 22 Februari 2010

Dendam Mantan Suamiku


Perceraian, apa pun alasannya, adalah keputusan buruk. Namun, keputusan itu juga yang harus kuambil. Usiaku masih muda, masa depanku masih panjang, dan "menghambakan" diri pada seorang lelaki yang tidak tahu cara mencintai, adalah kebodohan. Aku pun bercerai. Dan bukan bebas. Penderitaan baru malah kian sering menghampiriku.

Aku bercerai setelah lima tahun menikah. Sebenarnya, hanya 3 tahun aku menikah dengan Farid, 2 tahun itu adalah masa pisah rumah, dan mengurus perceraian. Sebabnya satu, Farid selingkuh. Dia "bermain" di belakangku waktu tugas keluar kota, dan pulang ---tanpa sadar-- dengan beberapa bekas cumbuan di dada dan pundaknya. Aku marah, dan tak pernah lagi mempercayainya. Bagiku, komitmen adalah segalanya. Jika dia tidak menjaga, cerai adalah pilihannya.

Putusanku itu banyak mendapat tantangan. Dari orang tua, teman-teman, mertua dan adik-adik. Mereka minta aku memaafkan Farid. Tapi aku gak bisa. Cerai, cerai! Farid mencoba bertahan, tapi di pengadilan, aku kukuh. Talak pun jatuh.

Hidupku kemudian kurasakan lepas. Usiaku baru 28, karierku sedang bagus, pergaulanku luas. Aku tidak akan pernah kesepian. Dan kukira, status janda tidak seburuk yang ditakutkan ibu dan teman-temanku. Tak banyak godaan dari para lelaki. Teman-teman priaku juga tak pernah mencoba merayu. Semua biasa, tak ada pretensi kejandaanku mengganggu aktivitasku. Penderitaan justru datang dari mantanku.

Setahun setelah bercerai, aku dekat dengan Iwan. Lajang yang sudah matang. Kedekatan kami ke arah yang cukup serius. Iwan pun tahu statusku, janda. Tapi dia tertawa jika aku menyebutkan diriku janda. "Tanpa surat cerai itu, kamu tampak seperti gadis," pujinya. Dan dia tidak memasalahkan hal itu. Iwan pun aku kenalkan kepada orangtuaku. Mereka cukup suka, dan menerima. Kepada Iwan, aku pun jujur mengakui sebab perceraianku. Dengan begitu, Iwan jadi tahu, bahwa aku tidak bisa menerima perselingkuhan, sekali pun. Ia setuju dengan prinsipku. Dia bilang, jika kami menikah, punya anak, dan salah satu dari kami berselingkuh, kami bercerai dan anak menjadi ikut yang tidak berselingkuh. Aku sepakat.

Namun, "kegilaan" datang dari Farid. Suatu hari, dia mendatangi Iwan, dan mengajak bicara empat mata. Kepada Iwan, Farid menjelaskan mengapa dia "terpaksa" berselingkuh. Kata Farid, sewaktu dia menikahiku, aku telah tidak perawan. Selain itu, di awal pernikahan, Farid merasakan ada yang tidak beres denganku. Katanya, aku mengidap penyakit kelamin. Tiga bulan pernikahan awal kami adalah kerjakeras Farid mengantarku ke dokter kelamin untuk menyembuhkan penyakitku. Farid bahkan menambahkan, barangkali penyakit kotor itulah yang membuat sampai 5 tahun aku tidak hamil juga. Gila!

Iwan menceritakan hal itu. Kukatakan bahwa semua itu fitnah. Awalnya Iwan percaya. Tapi, makin ke belakang, dia selalu bertanya, mengapa aku tidak juga hamil? Pertanyaan yang membuatku merasa bahwa omongan Farid ternyata merasukinya. Bahkan, ketika akan berlanjut ke tunangan, Iwan meminta aku memeriksakan diri ke dokter, sebagai tanda bahwa aku normal dan bisa hamil. Tampaknya, dia takut bahwa apa yang diomongkan Farid itu benar.

Sebenarnya, aku bisa saja ke dokter dan memeriksakan diri. Hasilnya pasti aku bersih dan tidak ada gangguan dan bekas penyakit kelamin. Tapi, bukan itu masalahnya. Bagiku, begitu Iwan mulai ragu, pernikahan itu tidak layak diteruskan. Aku cukup tahu, Farid dan aku saja yang menikah tanpa keraguan, akhirnya bercerai. Apalagi jika Iwan menikahiku dengan keraguan dan selebihnya karena tidak enak dengan orang tua. Maka, dengan bersumpah di atas kitab suci, aku katakan bahwa semua omongan Farid adalah fitnah, dan kuputuskan hubunganku dengan Iwan. Dia minta maaf, dan memaksaku untuk terus melanjutkan hubungan. Tapi bagiku, semua sudah selesai, sudah finish!

Setelah itu kudatangi Farid, dan kepadanya kutanyakan apa maksud dia memfitnah seperti itu. Farid ternyata tidak rela aku menikah lagi. Dia memintaku kembali, dan jika aku menolak, "kamu akan tetap menjadi janda selamanya!" ancamnya. Tapi aku tidak takut dengan ancaman itu. Dan kembali padanya, setelah melihat satu lagi watak buruknya, tak menjadi satu pilihanku. Daripda kembali ke Farid, aku memilih jadi janda, meski selamanya.

Tapi barangkali, asmara tidak bisa jauh dariku. Setahun setelahnya, aku dekat dengan Makrus. Duda tanpa anak. Kami cepat nyambung. Dia cerai mati, istri dan anaknya kecelakaan tiga tahun sebelum dia kenal denganku. Tanpa proses yang panjang, hanya empat bulan, kamu sudah berpacaran. Kepada Makrus aku katakan semua "sejarah" hdiupku, termasuk kemungkinan si Farid akan menjatuhkan fitnah lagi. Makrus tertawa. Dia yakin Farid tidak akan berani main-main dengannya. Aku percaya, faktor usia Makrus yang lebih matang akan membuat dia dapat berpikir lebih jernih. Dia lalu meminangku, dan keluargaku menerima. Sehabis tunangan itu, ada beberapa kali Makrus setengah memaksaku untuk melakukan hubungan suami istri. Tapi dengan tegas aku menolak. Dia tampaknya cukup paham.

Dan Farid datang lagi. Kali ini fitnahannya tidak mempan. Makrus tertawa saja, dan tidak menanggapi Farid. Aku pun tambah memujanya. Hari pernikahanku tinggal soal waktu. Desain undangan dan sovenir mulai kami rencanakan, kebahagiaan di depan mata. Tapi, ternyata kesedihan lain datang. Tak cukup memfitnahku sendirian, Farid datang dengan Iwan. Dan Iwan yang kini menjatuhkan fitnah keji kepadaku. Kepada Makrus dia mengakui percaya pada semua omongan Farid. Itulah sebabnya dia tidak jadi menikahiku. Padahal, akulah yang tidak mau menikah dengan Iwan. Tak hanya itu, kepada Makrus, Iwan pun berkata telah puas berintim ria denganku. Dia bilang aku perempuan murahan.

Makrus tidak percaya juga. Tapi, ketika memesraiku, dia memaksa untuk intim. Aku menolak, tapi dia marah. "Ohh, kepada Iwan kamu mau, kenapa kepadaku menolak?!" Bagai disammbar petir aku mendengarnya. Kutampar dia, sekerasnya. Makrus mengatakan tidak akan pernah mengungkit masa laluku jika itu benar, tidak mengapa jika aku telah intim dengan Iwan. Dia menerima dan akan tetap menikahiku. Tapi, dia juga berharap aku tidak sok suci. Gila! Gila! Gila! Demi tuhan, Iwan tak pernah menyentuhku, menciumku pun tidak. Kenapa Makrus percaya? Kenapa lelaki selalu menganggap kalau aku begitu murah menyerahkan diri pada lelaki lain? Sambil menangis, aku lemparkan cincin pertunangan itu. Aku memutuskan berpisah.

Orangtuaku marah besar. Kakak dan adikku ngamuk. Mereka merasa malu, telah dua kali aku gagal menikah di saat yang begitu dekat. Tapi aku tetap pada pendirianku. Tak akan kuhancurkan masa depanku pada lelaki yang tak pernah percaya dengan diriku. Bagiku, kepercayaan, komitmen, adalah segalanya. Aku tak ingin, pernikahanku berakhir lagi. Cukuplah masa burukku dengan Farid sialan itu saja, dan tidak dengan yang lainnya. Aku percaya, Gusti Allah pasti telah mempersiapkan jodohku yang lebih baik dari Iwan, Makrus. Aku berharap, aku berdoa.

Dimadu pun Aku rela asalkan dia tetap bersama saya

Pada bulan oktober tahun 1996 kami bertemu, awal perjumpaan kami adalah pada saat saya dan dia sedang ada tes caturwulan pertama. Ya waktu itu kami bertemu masih sama-sama duduk di kelas 3 SMP. Kami satu sekolah tapi tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Saya orang yang tertutup dan pendiam, terutama pada laki-laki.

Semenjak duduk satu bangku saat tes itu kami menjadi akrab dan dekat. Singkat cerita saya dan dia akhirnya jatuh cinta dan ia menyatakan cintanya pada saya tanggal 18 April 1997, saat itu malam takbiran Idul Adha. Dunia serasa milik berdua kami sering jalan bagaimana layaknya orang yang sedang dimabuk cinta.

Hal yang saya takutkan akhirnya pun terjadi, saat kami harus pisah sekolah. Saya sangat takut kehilangannya karena saya sangat mencintainya. Kami memang pisah sekolah tapi hubungan kami tetap berjalan. Saya masuk sebuah SMK swasta di daerah Kayu Tinggi Jakarata Timur, sementara ia masuk STM Swasta di daerah penggilingan Jakarta Timur juga. Setahun pertama pisah sekolah, hubungan kami berjalan lancar. Ia tetap menjemput saya setiap pulang sekolah karena saya masuk siang dan pulang habis magrib. Namun pada saat kelas 2 godaan pun mulai timbul. Ia sering saya dapati memboncengi wanita lain dan jalan dengan wanita lain. Namun akhirnya dia minta maaf dan saya terima. Selalu begitu dan begitu tiap kali dia selingkuh dia selalu minta maaf.

Ketika sudah lulus sekolah, saya bekerja di perusahaan swasta milik Jepang dan ia melanjutkan kuliah namun gagal di tengah jalan. Akhirnya dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di sebuah kawasan industri di Pulo Gadung. Kami sudah matang untuk merencanakan suatu pernikahan, namun cobaan datang lagi. Pada saat itu dia dan orang tuanya sudah datang melamar ke rumah saya namun tidak lama kemudian dia dan orang tuanya datang lagi ke rumah seorang gadis dan melamarnya pula. Saya mendengar hal itu dari bibi dan saudaranya yang masih peduli pada saya. Akhirnya saya datangi wanita itu dan meminta membatalkan acara lamaran itu. Wanita itu pun mau mengerti dan akhirnya saya dan dia dapat segera menikah.

Tahun pertama pernikahan saya rasakan sangat bahagia. Akhirnya saya dapat menikah dengan orang yang sangat saya cintai dan saya kasihi. Terutama pada saat saya hamil dia begitu perhatian pada saya dan memberikan yang saya butuhkan saat itu. Namun badai pun datang lagi setelah saya melahirkan anak pertama pada tanggal 15 Juni 2005. Pada bulan November 2005, setelah lebaran Idul Fitri, kami pindah ke rumah orangtua suami. Selama ini kami tinggal di rumah orangtua saya. Saya tinggal di sana hanya sebulan karena tidak tahan dengan sikap kedua mertua yang terlalu mengatur kami. Akhirnya pada 9 Desember 2005 saya kembali ke rumah orangtua saya sendiri dan kami pisah rumah sampai sekarang. Saya selalu minta kejelasan status saya padanya apakah akan berpisah darinya atau kami akan rujuk, karena dia tidak pernah memberi ke jelasan dan bahkan bersikap semau nya. Sementara itu orangtuanya ingin kita kembali sehabis lebaran Idul Fitri kemarin. Namun apa yang terjadi? Ternyata dia sudah ada WIL, yang hamil 2 bulan. Saya merasakan dunia seakan runtuh, hati hancur berkeping-keping.

Saya berusaha agar kami tidak berpisah karena saya memikirkan nasib anak saya dan hutang-hutang yang dia tinggalkan pada saya. Dia banyak berhutang pada bank dan saya yang harus menanggungnya karena atas nama saya, sementara semua uangnya dia yang pakai. Kemudian, dia balik memfitnah saya dan menyebarkannya bahwa saya pun selingkuh dengan teman kantor. Dan lebih parahnya lagi dia bilang pada semua orang kalau saya hamil dengan orang lain. Sungguh hal ini yang membuat hati saya marah dan lebih sakit hati daripada saat dia berselingkuh. Saya berani bersumpah demi Allah, demi anak saya yang berumur 1,5 tahun, kalau saya tidak pernah selingkuh! Bahkan bersumpah pocong pun saya berani.

Bagaimana saya bisa selingkuh dan memberikan tubuh saya pada sembarang orang sementara selama ini saya tidak pernah membuka pintu hati saya untuk siapa pun! Jangan kan tubuh, hati ini pun tak akan pernah saya berikan pada siapa pun selain suami saya! Saya sangat mencintainya dan dia adalah ayah dari anak saya. Sampai pada saat saya menulis kisah ini pun status saya masih mengambang dan kami bagaikan musuh. Padahal saya sudah berusaha lembut dan baik padanya tapi seakan dia sudah jijik melihat saya.

Pembaca, tolong apa yang harus saya lakukan? Saya benar-benar sudah tidak sanggup lagi menahan derita ini. Saya sangat menyayanginya dan mencintainya! Saya tak sanggup berpisah darinya. Dimadu pun saya rela asalkan dia tetap bersama saya. Tapi kenapa dia harus memfitnah saya? Saya sungguh menderita

Tuhan, Sadarkanlah Suamiku..

Aku menikah di tahun 1995, setelah berpacaran dua tahun lebih. Pernikahan ini aku yakini akan begitu berbahagia. Aku mengenal Pras sudah cukup lama. Dua tahun lebih memang masa kami berpacaran, tapi jauh sebelum itu aku sudah kenal dekat karena ia rekan sekantorku, hanya beda ruangan dan bagian. Jadi, siapa dia, siapa aku, kami sama-sama tahu. bekal itulah yang membuatku yakin untuk menikah dengannya.

Pernikahan kami memang bahagia. Berselang 2 tahun, putri kami lahir. Dan makin lengkaplah kebahagiaan kami. Seiring dengan itu, karier Pras juga membaik. Dia jadi punya posisi dan memiliki beberapa staf. Aku bahagia dengan perkembangan itu. Kami memang masih hidup sederhana. Tapi percayalah, kesederhanaan itu tak mengurangi rasa bahagia kami.

Ketika anak berusia 3 tahun dan sedang lucu-lucunya, saya sempat mendengar selentingan kalau suami ada "main" dengan salah seorang stafnya. Pergunjingan itu saya dengar selintas saja, tapi tak pernah saya gubris. Rasanya tidak masuk akal. Saya sekantor, dan pergi-pulang selalu bersama suami. Kapan dia sempat selingkuh? Lagipula teman kantor? Saya kenal semua teman kantor juga stafnya Pras, meski tidak terlalu akrab. Jadi, paling itu hanya gosip-gosip saja. Saya tidak ambil pusing. Saya percaya dengan suami.

Sampai pertengahan tahun 2000, ketika saya berbelanja keperluan kantor, dan mampir untuk makan siang ke sebuah restoran, saya melihat suami tengah makan bersama seorang stafnya. Deg! Saya langsung ingat semua gosip dan selentingan selama ini. Saya sempat lihat reaksi suami yang tampak kikuk dan sedikit gelisah. Perempuan itu yang tampak biasa, dan sempat melempar senyum kepada saya. Saya lega. Tidak mungkin perempuan itu bertingkah begitu alamiah kalau dia ada apa-apa dengan suami saya. Palingan suami saya cuma rikuh dan gak nyaman karena makan siang bukan dengan saya. Saya menepuk jidat, kenapa pikiran buruk cepat sekali datang? Segera saya usir semua ingatan akan gosip dan selentingan itu dari kepala saya.

Tapi, barangkali saya memang bodoh. Barangkali saya istri yang terlalu percaya pada suami. Nyatanya, setelah itu lebih dari 4 kali saya menjumpai mereka makan bersama di tempat yang berbeda-beda. Coba, siapa yang tidak curiga? Empat kali dengan perempuan yang sama?! Meski perempuan itu bersikap sama, ramah dan tersenyum, saya mulai mencium ada apa-apa di antara mereka. Selentingan dan gosip itu tampaknya benar. Tapi, saya mencoba tidak emosi. Saya berlaku wajar, dan setelah beberapa hari dari "keterpergokan" itu saya bertanya baik-baik kepada suami, apakah benar gosip yang selama ini beredar? Dan jawaban dia membuat saya kaget. Bukannya memberi penjelasan, dia malah marah besar. Marah semarah-marahnya. Belum pernah saya melihat dia marah sehebat itu. Tapi saya tidak mundur. Saya coba meminta dia jujur pada perasaannya. Saya tunjukkan bukti-bukti tentang gosip dan beberapa saksi yang melihat mereka bersama, juga saya sendiri yang 5 kali melihat mereka. Saya berharap dia berkata, "Kami hanya teman, rekan kerja!" Nyatanya, suami mengangguk. Dia membenarkan gosip itu. Tangis saya pecah.

Saya meminta suami untuk melupakan perempuan itu. Suami mengaku menyesal, dan akan berubah. Saya berdoa, dan berusaha makin memperhatikannya. Tapi, perubahan itu hanya kamuflase saja. suami saya dan perempuan itu tetap saja mabuk asmara. Tetap berhubungan seperti sedia kala. Karena dan ingin masalah ini berpanjangan, saya datangi perempuan itu. Saya katakan semua keberatan saya. Saya memang tidak menghakiminya, dan tidak emosi. Karena sepanjang pengakuan suami, mereka hanya masih berpacaran dan belum sampai berhubungan intim. Jadi, hubungan mereka belum terlalu jauh. Saya mencoba menyadarkan perempuan itu bahwa saya tidak ingin hubungan mereka jadi terlalu jauh. Saya tanyakan baik-baik, dan saya minta baik-baik agar dia menjauhi suami. Tapi jawabannya sungguh mengagetkan saya. Dia berkata sangat mencintai suami saya, dan siap menanggung apa pun demi hubungan mereka itu. Saya pun emosi. Mulai detik itu, apa pun saya lakukan untuk menjauhkan perempuan itu dari suami saya. Sampai akhirnya dia keluar dari kantor.

Tapi, keluarnya perempuan itu tak membuat suami saya sadar. Pras tetap saja nekad. Mereka tetap saja berhubungan. Saya marah, suami diam, tapi di belakang tetap saja berhubungan. Pernah saya tanya,apa yang kurang dari saya sehingga dia masih mencari perempuan lain. Jawaabannya sungguh memilukan dan tidak masuk akal. Dengan santai dia berkata, "Kucing itu dikasih ikan asin saja mau, apalagi diberi daging?" Gila! Suamiku memang sudah gila.

Selama ini saya masih bersabar. Tapi setelah membawa-bawa "kucing" itu, saya mengeluhkan soal itu ke ibu. Saya cerita panjang lebar. Bukannya lega, beban saya malah bertambah. Orang tua bilang itu hanya cobaan dalam rumah tangga, kelak akan berubah. Mereka juga berharap saya tidak menuntut cerai karena sebagai anak tertua dalam keluarga, saya harus memberi contoh kepada adik-adik. Tuhan, kenapa begini jalanku?

Saya lalu mencoba cerita ke orang tua suami. Hasilnya sama saja. Mereka lepas tangan dan tak mau mencampuri urusan rumah tangga kami. Lucunya, ketika tahun 2006 saya memiliki rumah sendiri, mertua malah ingin rumah itu diatasnamakan suami. Padahal, itu jerih payah saya. Jadi, bukannya membantu saya menghadapi tingkah anaknya,mertua malah merongrong saya.

Saya sudah hampir tidak kuat. Suami memang masih bertanggungjawab. Gajinya masih diserahkan kepada saya, meski saya tahu tidak semua. Karena sekantor, saya tahu jumlah gajinya. Jadi, saya tahu berapa yang tidak dia serahkan kepada saya. Meskipun bermasalah, saya juga masih melakukan kewajiban sebagai istri sebaik-baiknya, tidak mengeluh, dan selalu bersabar. Tapi, suami yang malah ingin bercerai. Saya minta, apakah itu sudah keputusan terbaik, dan sudah dipikir masak-masak? Dia diam. Dan sampai saat ini tidak pernah lagi dia mengungkit soal cerai.

Pembaca, saya capek. Meski suami selalu baik di depan anak-anak, dan kami pun tidakpernah bertengkar di depan anak, tapi saya tidak mampu lagi menghadapi hal ini. Berulangkali pikiran cerai datang ke benak saya. Tapi, selalu pesan orang tua saya terngiang, kalau mereka tidak ingin bercerai. Apalagi, mereka tahu suami masih selalu tidur di rumah dan berada di rumah dengan anak-anak. Suami hanya "mencuri" waktu untuk bersama perempuan itu. Dan saya tahu, kini pasti mereka telah berhubungan lebih intim daripada sekadar berpacaran.

Pembaca, dengan jalan apa saya dapat menyadarkan suami saya? Sungguh, perceraian belum jadi pikiran saya. Saya masih berharap dia sadar dan mau kembali pada keluarga ini. Saya juga tidak ingin adik-adik tahu dan saya menjadi contoh keluarga yang gagal di mata mereka. Lagipula, tidak ada yangpernah bercerai dalam keluarga besar kami.

Tolonglah Pembaca, berikan cara agar saya dapat menyadarkan suami yang sedang tersesat tersebut.

Aku Terpenjara Cinta

Sebelum aku bercerita tentang jalan hidupku yang kurasa sangat pahit ini, aku terlebih dulu memperkenalkan diriku. Namaku Mimi (32)dan belum dikarunia seorang anak pun, padahal usia perkawinanku dengan Mas Ratno telah memasuki tahun ke-9.

Mungkin persoalan itulah yang menyebabkan Mas Ratno meminta izinku untuk menikah kembali dengan seorang perempuan lain yang berprofesi sebagai perawat kesehatan di rumah sakit terkenal dibilangan Jakarta Selatan. Sebut saja namanya Rini dan mungkin karena ijinku itu pula aku akhirnya harus menjalani kehidupan seperti di penjara.

Pernikahanku dengan Mas Ratno sebenarnya merupakan cita-citaku sejak berkenalan dengannya. Mas Ratno menurutku adalah sosok pria yang nyaris sempurna, memiliki ketampanan, kecerdasan dan prilaku yang sangat santun serta kemapanan ekonomi. Dan selama mengarungi bahtera rumah tangga dengannya hanya sedikit persoalan yang kami hadapi, itupun sebatas masalah-masalah yang sepele, hingga aku tak pernah menyangka jika tabiat Mas Ratno bisa berubah seratus delapan puluh derajat.

Persoalan berat baru datang sekitar setahun lalu, saat kami belum juga memperoleh keturunan. Padahal segala cara telah kami lakukan termasuk mendatangi paranormal-paranormal terkenal yang kabarnya memiliki kemapuan untuk menyelesaikan permasalahn seperti persoalan yang aku hadapi. Ditambah saat itu keadaan ekonomi kami bisa dibilang tengah jatuh akibat PHK yang dialami Mas Ratno.

Sejak Mas Ratno di PHK perangai Mas yang semula santun, sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia seringkali marah-marah tanpa alasan yang jelas, bahkan menuduhku sebagai penyebab semua persoalan yang ia hadapi. Mas Ratno pernah berujar jika saja kami telah memiliki momongan, mungkin keadaan tidak akan buruk seperti saat ini, karena anak menurut Mas Ratno bisa melindungi ia dari keputusan PHK. Sebuah ungkapan yang tak masuk akal menurutku.

Di tengah kesulitan ekonomi itu, Mas Ratno mengaku berkenalan dengan seseorang yang bisa membuatnya kembali bekerja. Dan tentu saja berita itu membuat hatiku senang, karena mungkin dengan bekerja kembali kehidupan rumah tangga kami akan kembali seperti sedia kala. Namun harapanku malah sebaliknya, perkenalannya dengan Rini menimbulkan permasalahan baru buatku.

Mas Ratno akhirnya memang kembali bekerja, dan akupun mulai kembali dinafkahi seperti sediakala, hingga keadaan ekonomi kami semakin membaik walau tak sebaik dulu. Beberapa bulan kemudian Mas Ratno berbicara serius tentang masa depan rumah tanggaku, intinya ia kembali mempersoalkan keberadaan anak di rumah kami. Dan sekali lagi aku bingung harus menjawab seperti apa, karena semuanya berada diluar kehendakku.

Dan karena jawabanku yang menurutnya tidak memuaskan itu ia akhirnya mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi. Hal itu jelas membuat aku terkejut, dan lebih terkejut lagi ketika mengatahui perempuan yang akan dinikahinya dalah Rini, perempuan yang memberinya pekerjaan di rumah sakit tempat ia bekerja. Kecurigaan yang selama ini kupendam ternyata memang betul-betul menjadi kenyataan.

Walau dalam hati aku tak akan pernah menginjinkan ia menikah lagi, saat itu terpaksa aku menganggukan kepalaku, tanda setuju. Sejak itulah Mas Ratno, aku dan Rini hidup seatap. Awalnya keadaan itu tampak baik-baik saja, kami selalu bisa mengatur waktu kami dalam melayani Mas Ratno, makan malam bersama dan melakukan kegiatan lain. Namun begitu hati ini seperti teriris menyaksikan kemesraan yang mereka tunjukan kepadaku..

Dan keadaan itu berubah drastis saat Rini dinyatakan positif hamil, rasa sayang dan perhatian Mas Ratno kepadaku mulai berkurang. Saat itu ia lebih memperhatikan Rini, memanjakannya bahakan tak boleh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti yang biasanya kami lakukan bersama. Sejak itu pekerjaan seperti mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan makan sampai memasak dibebankan semuanya padaku.

Terlebih ketika Rini telah melahirkan, pekerjaan rumahku semakin berat karena ditambah harus mencuci popok, menyiapkan susunya dan keperluan-keperluan lain. Dan Rini semakin hari semakin bertindak sewenang-wenang terhadapku. Ia seakan menganggapku seperti pembantu atau tepatnya seorang budak. Sementara suamiku justru malah mendukung sikap kesewenang-wenangan Rini terhadapku. Aku memang tak mampu berbuat apa-apa, selain berdoa mudah-mudahan keadaan ini cepat berubah.

Aku Bukan Lelaki Sempurna

Hari pernikahanku kian dekat. Tapi, bukan kebahagiaan yang kurasakan melainkan kecemasan-kecemasan. Aku cemas dengan diriku, dengan masa depan perkawinan yang kurencanakan. Aku cemas karena tidak yakin apakah mampu menjadi suami bagi istriku.

Secara ekonomi tentu aku sangat mampu. Aku bekerja dan penghasilanku cukup bagus untuk ukuran kota ini. Keluargaku juga sudah mandiri semua, sehingga tak ada beban yang aku tanggungkan. Orangtuaku, meskipun pensiunan pegawai negeri, masih memiliki penghasilan sendiri dari warung kelontong yang mereka kelola. Kakakku sudah bekeluarga semua, dan puji Tuhan, semua berkecukupan, meskipun tidak berlebihan. Aku yang anak bungsu mendapatkan kesenangan-kesenangan sebagai lelaki terakhir di rumah kami. Jadi, istriku pasti tak akan merasakan kesulitan secara ekonomi. Apalagi, sebagai anak terakhir, aku mendapat "izin" untuk menjadikan rumah keluarga sebagai rumahku. Aku yang dipasrahi menjaga ayah dan ibu. Begitu menikah nanti, istriku akan sudah tinggal di rumahku yang cukup besar dan asri. Semua terkecukupi.

Masalah yang aku cemaskan memang bukan itu. Tapi menyangkut diriku sendiri. Aku "sempurna sebagai" lelaki. Jangan Anda bayangkan yang tidak-tidak, aku gay atau homoseksual. Bukan. Aku tak sempurna menyangkut ketakmampuanku untuk melakukan fungsi sebagai lelaki. Aku sendiri merasa dorongan seksualku sangat tinggi, menggebu. Tapi tak pernah ada kelanjutan daripada kemenggebuan itu saja.

Sejak SMA aku sudah berpacaran. Dan lazimnya berpacaran, kadang kami bermesraan. Kadang kemesraan itu juga nyaris melewati batas. Dengan Agnes misalnya, aku nyaris berhubungan suami istri. Untunglah, di saat kritis dan lupa diri itu, aku tak mampu melakukan penetrasi. Puji Tuhan. Yang di atas masih menjagaku dari dosa. Agnes pun bersyukur karena keperawanannya tak terjamah olehku.

Kejadian akhir SMA itu nyaris terulang semasa aku kuliah dengan Findy, tapi kembali aku gagal. Lalu dengan Mira, dan gagal lagi. Aku jadi yakin, Tuhan memang melarangku untuk melakukan hal itu. Aku sendiri mulai merasa aneh, mengapa tak mampu melakukan itu di saat-saat akhir.

Aku berkonsultasi kepada ahli seks. Jawaban mereka, stres yang berlebihan, takut akan dosa, ketidaksiapan, memang membuat kelelakianku tak akan dapat berfungsi normal. Dokter itu yakin jika aku sudah resmi menikah, semuanya akan beres. Tekanan psikologis yang membuat aku tak "sempurna" sebagai lelaki. Aku pun senang dengan diognosis itu.

Namun nanti dulu. Dengan tunanganku yang akan kunikahi ini, aku memang acap bermesraan, bahkan berlebihan. Karena kami sudah bertunangan dan akan menikah, juga hubungan sudah diketahui orang tua, kami relaks saja ketika bermesraan. Dan aku melakukannya tanpa rasa salah dan cemas. Hasilnya? Sama saja, aku tak mampu. Ereksiku --maaf-- sangat tidak memadai, kekerasaannya tidak seperti yang kuharapkan. Ada apa ini? Siska memang tidak marah, dan selalu merasa memang kami menikah baru boleh begituan. Tapi aku cemas. Aku mencari tahu apa yang salah dengan diriku.

Dari berbagai referensi, akhirnya aku mulai menyadari sesuatu. Dan aku menangis. Aku ingat, memang ada yang tidak beres dengan diriku. Hal yang semula tidak aku anggap sebagai penyebab. Dan kini aku menyadari, hanya hal itulah kemungkinan satu-satunya yang membuat aku begini. Dulu, sewaktu SD, aku pernah jatuh dari pohon. Jatuh dalam keadaan duduk. Aku pingsan. Kata ayah, tulang belakangku retak. Cukup parah. Aku juga ingat, beberapa hari aku kencing dan bercampur darah. Atas saran beberapa anggota keluarga, untuk menghindari cacat, aku dibawa ke ahli pijat. Menurut cerita mereka, kalau ke dokter, kemungkinan nantinya aku akan bungkuk, atau tidak berdiri dalam keadaan normal. Karena untuk membuat tulang belakangku menjadi pulih kembali, mereka akan memasang pen, dan itu membuat pertumbuhanku tidak akan normal. Cacat paska operasi itu yang tidak diinginkan ayah. Mereka lalu membawaku ke Boyolali, ke orangpintar yang aku lupa siapa namanya. Hasilnya sempurna. Dua minggu kemudian aku sudah dapat beraktivitas seperti biasa, dan sehat sediakala dua bulan kemudian. Hasil ronsen, tulangku menyambung dan kembali seperti semula.

Dan aku memang tumbuh normal, tidak ada keluhan, dan cacat tubuh setelah itu. Namun, kini aku merasakan dampaknya. Dari referensi, aku mengetahui, tekanan yang berlebihan pada tulang panggul atau tulang belakang, dapat membuat kegagalan ereksi. Penderita patah tulang belakang pun akan sulit kembali ereksi dengan sempurna. Aku memangis membaca hal itu. Aku merasa gagal. Tapi aku tidak putus asa. Suatu hari, aku mencoba sebuah "percobaabn", dan meminum obat kuat, lalu mengajak Siska bermesraan. Dan nafsuku memang menggebu. Kami nyaris melakukannya. Namun, meski aku seperti hewan yang terluka, proses persetubuhan itu tak terjadi. Aku seperti nyaris memperkosa Siska, karena obat itu membuatku menggerung seperti hewan buas. Tapi aku tetap tak mampu. Aku menangis kehabisan tenaga. Siksa yang menghiburku, meyakinkan bahwa nantinya sehabis pemberkatan aku akan mampu. "Ini soal waktu, bersabar ya?" Aku makin menangis. Siska tidak tahu, bukan itu masalahnya, bukan itu....

Aku putus asa. Aku lalu ke dokter. Dan benarlah, dari diagnosa mereka, ada kerusakan syaraf permanen yang mengatur fungsi alat reproduksiku. Bahasa gampangnya, otak tidak memerintahkan pasokan darah yang cukup untuk membuat ereksiku berjalan secara sempurna. Ada respon yang tak sempurna ke otak, sebagai pusat semua perintah syaraf. Karena sudah cukup lama terjadi, harapan untuk kembali sembuh tipis. Dokter memberiku berbagai obat, juga menganjurkanku mengikuti pengobatan alternatif, semacam akupunktur atau pijat syaraf lainnya. Mereka menguatkanku bahwa masih ada harapan walaupun tipis. Karena ada syarafku yang sekian lama tercepit dan akhirnya tak berfungsi.

Ke akupunktur aku sudah berkonsultasi. Ada harapan memang. Dan sudah lebih dari enak kali pinggulku dijarumi, dan hasilnya memang ada. Ereksiku lumayan kuat, tidak seperti dulu. Tapi tetap belum mampu untuk melakukan hubungan intim secara sempurna. Aku jadi panik. Aku tak bisa yakin, kapan pengobatan ini akan berhasil secara maksimal. Aku memang dianjurkan berpikir positif dan yakin. Sudah aku lakukan. Tapi aku tetap cemas, karena pernikahnku semakin dekat. orangtua sudah mendesak. Dan pertunanganku sudah memasuki usia 2 tahun. Aku tak bisa menunda lagi. Tapi, bagaimana jika aku nanti tak bisa melakukan tugas sebagai suami? Apa yang harus aku lakukan? Berterusterang, yang akan membuat Siksa meninggalkanku?

Pembaca, bantu aku. Jika ada pengobatan alternatif yangmampu, jika ada saran yang membantu, bantulah aku. Secepatnya. Aku percaya, Tuhan di atas sana akan membalas kebaikan semua pembaca.