Tampilkan postingan dengan label polisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label polisi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Oktober 2010

Serse Punya Peluang Kolusi Tinggi

Kapolri yang akan datang diprediksi akan menghadapi beban berat. Apalagi belakangan citra Polri sedang terkoyak banyak masalah, misalnya kasus Cicak dan Buaya, serta kasus Gayus Tambunan. Selain memperbaiki citra Polri yang tercoreng, Kapolri mendatang juga harus membenahi banyak hal di institusi Polri. Misalnya soal kinerja para personel dalam melindungi dan melayani masyarakat, yang menjadi moto Polri.

Lantas apa saja yang akan menjadi pekerjaan rumah Kapolri mendatang? Berikut petikan wawancara detikcom dengan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala di Kampus UI, Depok beberapa waktu lalu:

Saat ini di Polri akan terjadi pergantian Kapolri. kira-kira apa tugas saja yang jadi priortas bagi Kapolri mendatang untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya?

Untuk tugas-tugas Kapolri mendatang kita harus bagi 2 dahulu, yakni soal manajemen dan policing. Kalau manjemen itu kita bisa bicarakan anggaran, logistik, struktur. Sementara policing adalah ketika mereka menggerakan powernya atau kewenangannya guna menciptakan masyarakat yang tertib dan adil.

Kalau bicara mengenai personel, maka pertanyaan apakah institusi Polri harus sebesar itu perlu digugat atau diangkat kembali. Sebab ke depan Polri akan lebih mengutamakan teknologi. Dengan teknlogi itu bisa mengurangi jumlah manusia. Jadi untuk apa memperbanyak jumlah orang yang banyak menyerap anggaran Polri. Dari total anggaran Polri yang dialokasikan APBN sebesar 22 triliun, 75 persen anggarannya terserap untuk bayar gaji. Padahal jika personelnya dikurangi akan menekan anggaran bagi Polri. Bisa saja gaji masing-masing personelnya jadi semakin tinggi, tambah banyak tunjangannya dan mereka semakin happy dengan bantuan teknologi.

Berarti Polri harus berhenti dalam merekrut anggota baru?

Tentu saja. Selain itu Polri juga harus memperhatikan soal rekrutmen. Sebab selama ini yang kita tahu selalu saja mengalami perubahan dalam perekrutan. Selama ini ada sistem satu pintu dan multipintu, kemudian berubah ada Akpol S1, sekarang berubah lagi ada akpol D3 dan ada bintara D1. Menurut saya sebaiknya sudahlah jangan berubah-ubah lagi. Yang ajeg (baku) sajalah.

Apa alasan perubahan-perubahan dalam sistem rekrutmen?

Masing-masing Kapolri punya kebijakan masing-masing soal rekrutmen. Jadi ganti Kapolri biasanya ganti sistem rekrutmen. Makanya kepada kapolri yang baru saya berharap tidak ada lagi perubahan-perubahan dalam perekrutan personel.

Lalu bagaimana dengan pengawasan?

Nah ini dia, di organisasi Polri ini memang unik. Sebab penilaian kinerja anggota,terutama menyangkut promosi, mutasi dan demosi,tidak menggunakan patokan key performance indicators (KPI). Padahal dengan sistem penilaian tersebut kinerja masing-masing jabatan bisa terlihat.

Untuk itu harapan saya kepada Kapolri yang baru tolong dibuat penilaian kinerja. Dan dari situlah kita bisa menilai orang apakah orang tersebut menjalankan tugasnya atau tidak. Dan dari penilaian itu akan jadi pertimbangan untuk memutasikan, mempromosikan, atau mendemosikan kalau perlu.

Sampai saat ini, dari 2 ribuan lebih job di Polri, dari Kapolri hingga hingga sopir. Hanya ada 300-400 job yang memiliki KPI. Jadi hanya sedikit yang memiliki KPI dan yang sedikit itu pun tidak dihargai. Padahal mana ada organisasi profesional bekerja bukan atas dasar KPI. Sebab dasar penilaian itulah yang harusnya bisa dijadikan parameter kinerja. Apakah layak dipromsikan atau dimutasi.

Selama ini Polri selalu berteriak profesional sementara dasar kenaikan pangkat atau tunjangan semua serba otomatis. Padahal orang yang berhak mendapat promosi berdasarkan skala yang sudah ditetap kan dalamsistem KPI tersebut. Selama ini penilaian di tubuh polri lebih karena kedekatan atau berdasarkan senioritas.

Mengenai tugas-tugas Kapolri, kira-kira di kesatuan mana yang harus dibenahi?

Seperti yang BHD bilang kita keroyok serse. Sebab selama ini siapapun Kapolri-nya belum ada yang bisa mengubah cara kerja. Sebab kasus-kasus yang ditangani sifatnya personal. Jadi penyidik bisa pilih-pilih kasus yang ditangani karena sifatnya personal. Jadi untuk mengubah serse yang paling utama adalah cara kerjanya.

Selama ini di tubuh serse seorang penyidik tidak tahu kasus yang ditangani penyidik lainnya. Jadi kalau penyidik yang menangani suatu perkara sedang berhalangan atau diganti. Penyidik yang baru tidak tahu apa-apa. Dan parahnya, dengan cara kerja seperti itu sangat membuka peluang kolusi. Sebab seorang penyidik menjadi tuan besar dalam kasus yang ditangani.

Jadi jangan keroyok serse dengan mengintruksikan tidak terima duitnya. Itu percuma. Yang terpenting pimpinan Polri harus merubah cara kerja dilingkungan serse. Ketika penyidikan berjalan transparan, maka akan sulit bagi penyidik untuk main-main dengan kasus yang ditanganinya.

Lalu bagaimana di Lantas?

Kalau di Lantas praktis tidak banyak problem. Sebab sejauh ini sudah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan. Hanya kalau kita mau minta perhatian pada Kapolri baru, lebih pada transparansi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengurusan SIM, STNK, dan BPKB.

Karena PNBP adalah dana publik yang bisa diases publik mengenai penggunaanya, maka penggunaan PNBP harus transparan. Memang pada bagian Dirlantas misalnya, ada bagian. Misalnya kita bayar SIM Rp 55 ribu, maka sebanyak Rp 35 ribu untuk negara dan sisanya yang Rp 20 ribu untuk dibagi-bagi tergantung jabatan. Jangan sampai penggunaannya salah yang mengakibatkan petugas lantas diseret ke KPK.

Sementara Samapta, adaah suatu pekerjaan yang bersifat preventif dan pengaruhnya indirect atau tidak langsung. Jadi begini kalau orang yang ingin berbuat jahat lalu melihat polisi berseragam maka orang tersebut tertangkal untuk melakukan kejahatan. Tapi moral kerja personel Samapta rendah. Sebab mereka menganggap samapta bukan pekerjaan basah jadi kurang semangat. Beda dengan serse, yang berpakaian sipil. Kalau Samapta mau minta duit malu dengan seragamnya.

Lagi pula apa yang membuat orang ngasih duit ke Samapta. Kalau ke serse kan jelas menyangkut status hukum. Sehingga berpeluang untuk dimanipulasi. Kalau Samapta paling uang receh, baik dari pengawalan atau tugas jaga.

Karena itu polisi yang baik-baik kebanyakan di Samapta. Untuk menjaganya, pimpinan harus meningkatkan biaya operasionalnya serta tunjangannya. Sebab tugas Samapta ini berkeliling atau patroli. Kalau tidak dimodali bensin atau operasionalnya mereka akan minta kemana-mana

http://www.detiknews.com/read/2010/10/04/164909/1455199/159/adrianus-serse-punya-peluang-kolusi-tinggi.

Intel Tak Berdaya Karena Tiada Dana

Kapolres Jakarta Selatan Kombes Gatot Edy, Rabu, 29 September lalu, punya pengalaman tidak mengenakan. Betapa tidak, saat ia memimpin anak buahnya berjaga di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, tiba-tiba peluru nyasar menyerempet lutut kirinya. Untung saja peluru tidak mengakibatkan luka yang berarti baginya.

Lain Gatot lain pula Briptu Gerhana, yang berdiri di belakang Gatot saat itu. Sebabnya, peluru yang sebelumnya sempat menyerempet sang komandan justru mengenai kakinya. Akibatnya, Gerhana harus dibawa ke rumah sakit.

"Peluru yang nyasar ke kaki saya juga mengenai ajudan saya. Dia kena di kaki juga, tapi tidak seperti saya, dia kena lebih parah. Namun ajudan saya sudah diberikan pengobatan," ujar Gatot di PN Jakarta Selatan saat itu.

Peluru nyasar itu berasal dari senjata yang pakai salah satu kelompok yang terlibat bentrokan di depan PN Jaksel kala itu. Selain melukai polisi, bentrokan antar kelompok preman itu juga menewaskan 3 orang, yakni Fredy, Syaifudin, Agustinus Tomazoa.

Peristiwa bentrokan di depan PN Jaksel ini sangat ironis. Soalnya, puluhan polisi yang saat itu berada di area pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menyaksikan darah tertumpah dalam bentrokan yang berlangsung selama sekitar 1 jam tersebut.

Beberapa polisi yang saat itu bertugas di PN Jaksel kepada wartawan mengaku, tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tidak membawa senjata. Alhasil mereka tidak bisa melerai atau mencegah jatuhnya korban akibat bentrokan itu.

Namun alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustofa. Sebab seharusnya polisi bisa mendeteksi secara dini sebelum bentrokan terjadi. Apalagi pekan sebelumnya telah terjadi insiden pada sidang kasus Blowfish yang digelar pada Rabu 22 September lalu.

Saat itu terdakwa kasus Blowfish, Bernadus Melala dan Karnos Lolo menjadi korban pemukulan dari pihak korban. Peristiwa bentrokan yang terjadi Rabu, pekan lalu, merupakan buntut dari pemukulan tersebut.

"Dari berbagai persoalan saya melihat ini, saya melihat fungsi intelijen itu lemah. Polisi seperti pemadam kebakaran yang setelah kejadian baru bertindak, tidak ada pencegahan," ujar Saan Mustofa kepada detikcom.

Menurut Saan, jika intelijen kepolisian benar-benar bekerja dengan benar, pastinya antisipasi bisa dilakukan lebih awal. Sehingga bentrokan berdarah tersebut tidak terjadi.

Lemahnya inteljen Polri bukan hanya terlihat dalam peristiwa di Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Peristiwa kerusuhan yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur, yang mengakibatkan 5 orang tewas, kata Saan, juga sebagai indikasi lemahnya kinerja intelijen.

Lemahnya intelijen Polri ini juga dibenarkan Kriminolog Universitas Indonesia Prof Adrianus Meliala. Bahkan menurutnya, intelijen Polri bukan hanya lemah melainkan tidak berdaya karena tidak punya anggaran.

Kata staf ahli Mabes Polri ini, dari anggaran APBN yang dikucurkan ke Polri setiap tahunnya, alokasi untuk intelijen hanya Rp 300 juta. Dana tersebut untuk kegiatan intelijen di seluruh Polda selama 1 tahun. Padahal untuk kegiatan intelijen dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

"Untuk membayar informan dan biaya operasional pencarian data dan informasi dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau alokasi hanya Rp 300 juta dalam setahun mana bisa bekerja intel-intel Polri," ujar Adrianus.

Yang sangat disayangkan, imbuh Adrianus, untuk masuk ke bagian intelijen umumnya merupakan personel yang punya kemampuan di atas rata-rata. Namun karena tidak punya anggaran, terpaksa mereka hanya diparkir di dalam kantor alias menganggur.

Untuk itu, Kapolri yang baru diharapkan bisa lebih meningkatkan kinerja intelijennya. Sehingga kejadian-kejadian yang mengganggu ketertiban masyarakat bisa dicegah sebelum meletus dan menelan korban.

Adrianus mengatakan, banyaknya peristiwa bentrokan antar kelompok massa yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia bukan karena kecolongan. Tapi disebabkan karena intelijen tidak bekerja. "Kalau kecolongan masih bisa dibilang bekerja tapi tidak maksimal. Tapi yang terjadi saat ini intelijen Polri memang tidak bekerja," pungkasnya.

http://www.detiknews.com/read/2010/10/04/164012/1455182/159/intel-tak-berdaya-karena-tiada-dana

Korupsi di Semua Zona dan Lini Polri

Hanya ada dua polisi bersih: Kapolri Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Demikian guyonan mendiang Presiden Gus Dur, demikian juga yang dirasakan masyarakat. Korupsi menyelimuti petugas lapangan hingga jenderal berbintang, pada semua jenis pekerjaan.

Polri adalah lembaga paling korup di Indonesia republik ini. Demikian persepsi masyarakat terhadap kepolisian, sebagaimana tercermin dalam laporan Transparency Internasional Indonesia (TII), Desember 2007. Walau laporan hasil survei ini sudah tiga tahun lalu, tapi persepsi masyarakat terhadap Polri belum berubah. Apalagi belakangan ini, justru banyak kasus korupsi dan suap yang melibatkan jajaran kepolisian.

Itulah sebabnya, walau institusi ini berhasil dalam mengungkap berbagai kasus kriminalitas, bahkan terorisme, tapi persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap lembaga ini masih rendah. Apalagi, kenyataan sehari-hari yang menunjukkan bobroknya institusi ini, tidak pernah hilang: pungli di jalanan, jual beli perkara dalam penyelidikan dan penyidikan, dll.

Menurut peneliti TII, Frangky Simanjuntak, yang dihubungi detikcom di Jakarta, Sabtu (2/10/2010), bersama parlemen, lembaga peradilan dan partai politik, institusi kepolisian dinilai sangat buruk berdasar Global Corruption Barometer (GCB) 2007. Kenyataan tersebut mengukuhkan hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 yang dikeluarkan oleh TII yang menempatkan lembaga tersebut di peringkat atas atau terkorup.

Temuan-temuan penting GCB 2007, antara lain menunjukan adanya 1 dari 10 orang di seluruh dunia harus membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Praktik suap secara khusus menyebar dalam interaksi dengan polisi, lembaga peradilan dan lembaga pelayanan perijinan. GCB 2007 menmunjukkan, banyak responden mengaku lembaga kepolisian adalah yang paling bermasalah dalam membayar suap. Di dunia ini, satu dari empat orang yang pernah berhubungan langsung dengan polisi dimintai uang pelicin, dan satu dari enam orang mengaku membayar suap.

Sementara, dalam konteks Indonesia, persentasi responden yang membayar suap mencapai 31 persen. Dibandingkan dengan institusi lain, kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perizinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup.

Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian. Pertama, zona pelayanan dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya; kedua zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum; ketiga zona fiskal atau anggaran, di mana pos belanja barang, khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente; keempat, zona manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis.

Contoh zona pertama adalah praktik uang suap untuk mendapatkan surat keterangan, surat izin mengemudi, sampai surat kendaraan. Contoh zona kedua, adalah jual beli kasus, mulai tingkat Polres yang melibatkan pencurian ayam, sampai jual beli kasus pajak yang melibatkan sejumlah perwira tinggi.

Contoh zona keempat, yang paling fenomenal adalah kasus jarkom pada tingkat Mabes, dan tentu saja dengan nilai berbeda hal itu juga terjadi pada tingkat Polda, Polres dan Polsek. Untuk zona empat, sebagai ilustrasi adalah hasil penelitian seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang dilakukan terhadap 19 Polda. Penelitian itu menemukan fakta, bahwa untuk menjadi seorang polisi harus membayar pelicin hingga Rp 40 juta.

Tahun 2006 lalu, Komisi III DPR pernah mendesak KPK untuk mengungkap kasus korupsi di kepolisian. Kasus korupsi yang menghebohkan adalah dalam pengadaan mesin sidik jari dan peralatan telekomunikasi, atau dikenal dengan kasus jarkom. Waktu itu Komisi III sempat menyepakati untuk menggunakan hak angket untuk menyikapi kasus korupsi itu, meski akhirnya tenggelam begitu saja.

Dalam Konferensi ke-19 International Criminal Police Organization (ICPO) pada April 2006, Presiden SBY pernah meminta pemberantasan korupsi dimulai dari kepolisian. Begitu juga dalam penanganan kasus korupsi, aparat kepolisian dan jaksa juga dinilai lamban, bahkan seringkali tidak ditindaklanjuti tanpa kejelasan kepada publik.

Kenyataan tersebut menunjukan bahwa komitmen Presiden SBY untuk memberantas korupsi ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan aparat kepolisian dan kejaksaan. Hal ini juga tidak menutup kenyataan, bahwa kinerja lembaga pemberantasan korupsi juga belum memuaskan.

TII merekomendasikan agar KPK menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, KPK harus lebih mengutamakan fungsi supervisi dan koordinasi supaya kejaksaan dan kepolisian bisa berperan lebih efektif dalam memberantas korupsi.

Pemerintah juga diminta mempercepat proses reformasi birokrasi di institusi lembaga penegak hukum termasuk kepolisian. Reformasi birokrasi juga harus diikuti perubahan organisasi yang lebih efektif, efisien, dan transparan, serta aturan kepegawaian yang lebih berintegritas.

Senin, 22 Februari 2010

Pemulung Dituduh Miliki Ganja: Jean Valjen, Chairul Saleh dan Keadilan Bagi Kaum Miskin

1795. Perancis, minggu malam, Jean Valjen, seorang gembel mengendap-endap di toko roti Place de l`Englise untuk mengambil roti bagi 7 anaknya dan dia yang telah seharian tak makan. Apa nyana, aksi 'pencurian' tersebut diketahui oleh pemilik toko, Maubert Isabeau dan terjadilah aksi kejar-kejaran.

Untuk menghilangkan barang bukti, roti-roti tersebut, dia lemparkan ke jalanan dari tangannya yang berlumuran darah akibat memecahkan kaca jendela. “Pencurian di malam hari di rumah kosong,” bunyi ancaman pidana bagi Jean Valjen.

Alhasil, dia dijebloskan ke penjara selama 19 tahun, di Toulon, 27 hari perjalanan kereta berkuda dari Paris. Dengan rantai di leher, kini Jean Valjen berubah nama menjadi 24.601. Dan jangan tanya, bagaimana nasib ke 7 anaknya dan kakaknya.

3 September 2009. Jalan Benda, Kemayoran, Jakarta Pusat. Chairul Saleh, pemulung yang sedang asyik menikmati kopi tiba-tiba saja di tuduh memiliki ganja. Bersaksikan bumi dan langit serta beberapa pemulung lainnya, dia seret ke Polsek Kemayoran. Tak sampai 6 jam, BAP pun selesai dan dia dituduh pemilik ganja seberat 1,6 gram.

Apa lacur, fakta persidangan berkata lain. Di depan hakim ketua Syafrudin, 5 penyidik tak ada satupun yang mau bertanggungjawab atas isi BAP tersebut. Bahkan, salah satu penyidik yang juga Kanit Narkoba, Aiptu Yulianto, tak mengetahui kebenaraan isi BAP. “Tapi itu tandatangan saya,” akunya di depan hakim.

Ulah Brigadir Polisi tersebut, berimbas kepada orang nomor 1 di tubuh Polri, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Dia langsung menelpon Kapolda Metro Jaya Irjen Wahyono untuk meminta kepastian adanya rekayasa tersebut, Jumat lalu.

Tak berapa lama, Polda Metro Jaya, lewat humasnya, Kombes Pol Boy Rafli Amar mengakui hal tersebut. “Rekayasa ini ada di alat bukti berupa keterangan saksi polisi. Polisi yang tidak ikut menangkap dimasukkan ke BAP padahal dia tidak ikut menangkap," ujarnya.

Hari ini, Chairul Saleh akan diperdengarkan kesaksiannya di PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Meski kesaksian terdakwa merupakan barang bukti yang paling lemah dan hakim bisa mengesampingkan, tapi publik akan bisa melihat bagaimana Saleh bercerita tentang ke-dzaliman yang dialaminya.

Baik Jean Valjean ataupun Chairul Saleh, sama-sama merupakan pembuktian supremasi hukum pidana. Bagaimana hakim harus menimbang tujuan hukuman pidana antara keadilan procedural (penangkapan, BAP hingga proses peradilan) maupun keadilan substansial (nilai yang terkandung dalam isi putusan).

Perdebatan kedua keadilan tersebut, Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin Tumpa memberikan pedoman yang disampaikann dalam sebuah seminar dangan peserta hakim peradilan agama di seluruh Indonesia, Jumat lalu di Hotel Red Top, Pecenongan.

"Tugas hakim adalah mewujudkan keadilan prosedural dan keadilan substansial. Hakim tidak boleh mengutamakan salah satu keadilan. Keduanya harus selalu ada dalam memutus suatu perkara. Karena kedua sisi ini sama pentingnya untuk ditegakkan karena apabila salah satu ditinggalkan maka yang terjadi adalah ketidakadilan,” ujarnya.

http://www.detiknews.com/read/2010/02/22/063533/1303926/10/jean-valjen-chairul-saleh-dan-keadilan-bagi-kaum-miskin

Rabu, 17 Februari 2010

Waduh, "Striptease" di Sebelah Kantor Polsek

Hiburan malam di Jakarta beragam jenisnya. Dari musik hidup sampai tari telanjang (striptease). Dari sekian banyak tempat hiburan, ada satu tempat striptease yang nekat menjalankan usaha di sebelah kantor polisi di Taman Sari. Tempat tersebut adalah "D" yang menempati sebuah gedung di sebelah Polsek Taman Sari.

Sepanjang petang hingga dini hari, pelbagai jenis hiburan, seperti musik hidup, karaoke, hingga tari telanjang ,dapat disaksikan di situ. Lokasi hiburan yang terletak di lantai tujuh itu juga menyediakan siaran langsung striptease dari hall ke televisi di kamar karaoke.

Dalam pantauan Kompas sepanjang akhir pekan, Jumat-Sabtu (12-13/2/2010), sejumlah penari perempuan muda tampil di atas panggung. Mereka mengenakan pakaian mini.

Seiring irama musik, setelah beberapa saat, mereka mulai melepas penutup tubuh bagian atas hingga akhirnya bagian bawah. "Wah, kalau Bapak datang dua tahun lalu lebih heboh. Banyak penari dari Indonesia bagian timur. Cantik-cantik dan berkulit bersih," ujar Amir—bukan nama asli—seorang penjaga parkir yang biasa mengantar tamu naik dari lokasi parkir ke dalam D.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Komisaris Besar Boy G Rafli yang dihubungi, Selasa (16/2/2010), mengatakan, dirinya terkejut mendengar adanya tari telanjang di gedung yang berada di sebelah kantor polisi. "Kami akan segera mengecek ke Polsek Taman Sari dan ke lokasi," kata Boy menegaskan.

http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/16/21361777/Waduh..Striptease.di.Sebelah.Kantor.Polsek

Selasa, 09 Februari 2010

Penjahat Berseragam Itu Seorang Polisi...

Kejahatan bisa memang dilakukan siapa saja. Tapi apa jadinya jika kejahatan itu dilakukan seorang oknum polisi. Barangkali nilainya akan lain. Seperti kisah yang satu ini. Seorang perwira Scotland Yard dicap sebagai "penjahat berseragam" dan dikirim ke penjara setelah ia dinyatakan bersalah setelah mengancam dan membuat penangkapan palsu dengan motif mendapatkan uang. Adalah komandan Ali Dizaei (47), perwira polisi di Inggris yang dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh pengadilan Southwark, London atas kesalahannya berperilaku menyesatkan.
Juri menemukan dia telah menyerang seorang warga Irak, Waad Al Baghdadi sebelum mencoba menangkap dan menahannya. AKsi itu pun mengakhiri 25 tahun karier pria asal Iran tersebut. Kepala Komisi Pengaduan Kepolisian Independen, Nick Hardwick, menilai Dizaei sebagai petugas dengan cap 'penjahat berseragam'. Kejaksaan mengatakan tindakannya sangat 'menyedihkan' karena dilakukan seseorang yang memiliki pangkat tinggi.
Kepala Kepolisian Sir Paul Stephenson menyatakan ia layak mendapat hukuman atas tindakannya yang memalukan dan merusak reputasi seluruh layanan polisi. Dizaei tidak menunjukkan emosi ketika dia dinyatakan bersalah oleh juri yang terdiri dari enam pria dan enam wanita. Apalagi ketika ia dijatuhi hukuman dan dibawa ke sel yang disaksikan istrinya.


Bagaimana sebenarnya kisah Dizaei ?

Menurut seorang juri, awalnya Dizaei bertemu dengan Al Baghdadi secara kebetulan di sebuah restoran Persia, Yas, yang dikelola oleh temannya, Sohrab Eshragi, di Hammersmith Road, London Barat, pada 18 Juli 2008.Al Baghdadi (24) mendekati Dizaei dan hendak meminjam uang £ 600 (sekitar Rp 8,7 juta) untuk membangun sebuah website guna menampilkan kariernya, wawancara media dan pidato. Dizaei yang kala itu baru saja makan bersama istrinya setelah menghadiri upacara di New Scotland Yard marah mendengar hal ini. Al Baghdadi kemudian ditangkap dan diborgol.
Jaksa Peter Wright menyatakan, Dizaei sempat mengancam Al Baghdadi. Ia sempat memanggil operator 999 untuk bantuan sebelum menangkap Baghdadi. Ketika petugas tiba, mereka memberikan sebuah corong pipa logam pada Al Baghdadi dan mengklaim dia telah menikam Dizaei dengan benda itu.
Tapi dokter di Hammersmith menyimpulkan bahwa dua tanda merah pada tubuh perwira polisi itu tidak cocok dengan pipa yang dikesankan oleh Dizaei sebagai benda yang milik Al Baghdadi dan melukainya.Akibat laporan palsu Dizaei ini, Al Baghdadi ditahan dan menghadapi penuntutan. Saat itulah, Al Baghdadi mengurai penipuan yang dilapokan polisi tersebut.
Wright mengatakan perwira itu bersalah karena menyalahgunakan kekuasaannya yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi. Dia mengatakan, banyak orang takut pada petugas polisi metropolitan karena statusnya dalam masyarakat Iran. Para juri juga mendengar bahwa Dizaei jarang membayar untuk makanan yang dia beli.
Dalam pembelaannya, Dizaei mengatakan ia melakukan itu karena dirinya sedang ditarget oleh rekan-rekannya terkait perannya sebagai presiden National Black Police Association. Tapi juri menolak semua pembelaaan itu. Paul mengatakan, apa yang dilakukan Diazei sangat memalukan. "Masyarakat mengharapkan polisi bisa memperlakukan mereka dengan adil dan jujur dan kami bertekad untuk mengatasi korupsi di setiap kesempatan. Tapi dia telah melanggar kepercayaan itu. Dia telah merusak bukan saja reputasinya sendiri, tetapi seluruh layanan kepolisian."
Gaon Hart, dari pemantau polisi, mengatakan korupsi yang dilakukan Dizaei sangat memprihatinkan, lebih-lebih mengingat posisinya sebagai komandan polisi. "Masyarakat percaya pada polisi akan tanggung jawab besarnya, dan Dizaei menyalahgunakan kekuasaan dan tanggung jawab itu." Pada tahun 2003 terungkap juga bahwa Dizaei memiliki enam selingkuhan yang menikmati gaya hidup mewah.

Selasa, 12 Januari 2010

Apel hingga Larut, Polisi Diarak Warga

Bripda ZA, 38, anggota Polres Kediri yang sudah beristri digerebek warga saat berduaan di dalam rumah seorang gadis, IT (21), di Dusun Tawang, Desa Sumberbendo, Kecamapatan Pare, Kabupaten Kediri, Sabtu (9/1) pukul 24.00 WIB. Warga langsung menyeret ramai- ramai anggota dari Satuan Intel Polres Kediri tersebut dari dalam rumah dan diarak menuju rumah salah satu perangkat desa setempat.

ZA diseret dari dapur rumah yang ditempati IT sendirian. Semula, IT yang sudah sekitar enam bulan menjalin hubungan dengan ZA, berusaha menyembunyikan anggota polisi itu.“Sempat dikatakan tak ada siapa-siapa. Ternyata, lelakinya disembunyikan di dapur,” kata Zubaidi, tokoh pemuda yang ikut menggerebek.

Menurut Zubaidi, dini hari itu, sekitar 15 warga memutuskan menggerebek rumah IT. Sebab, sepengetahuan warga, sudah dua malam, ZA bertamu hingga larut malam.“Malam Kamis malah sampai menginap hingga pagi,” kata Ahmad Kholil, tokoh masyarakat yang juga tetangga IT.

Meski demikian, warga tidak berbuat main hakim sendiri. ZA yang tertangkap basah, kemudian diarak sejauh 200 meter menuju rumah kepala dusun setempat.Warga juga meminta kartu identitas ZA. Karena dia tidak membawa, polisi ini diantar perangkat desa ke rumahnya mengambil kartu tanda anggotanya (KTA).

Kekecewaan warga muncul setelah terjadi kesepakatan dengan perangkat desa, tanpa melibatkan warga, ZA diizinkan pulang dengan membuat surat pernyataan, akan bertanggung jawab atas ulahnya dan setiap saat dipanggil aparat desa siap datang.

Sabtu (9/1) pagi, rencananya ZA didatangkan kembali. Tapi, sosok polisi ini tak muncul. Sekitar pukul 09.00 WIB, Kasat P3D (Pusat Pelayanan dan Penegakan Disiplin) Polres Kediri, Iptu Heri Suwono langsung mendatangi desa tersebut. Sempat bersitegang dengan warga karena tak menduga di lokasi ternyata sudah banyak wartawan menunggu.

Heri sempat melarang wartawan mengambil gambar. Wakapolres Kediri, Kompol Arnapi, saat dikonfi rmasi menyatakan bahwa pihaknya telah memproses anggotanya yang dituduh bertindak asusila tersebut.“Akan kami beri tindakan dan sanksi tegas. Dia sudah beristri dan punya satu anak. Ini menyangkut moralitas penegak hukum sebagai pelayan masyarakat. Semua masih kami periksa,” kata Arnapi.

Paman IT, Suto Ismono, meminta ZA bertanggung jawab. “Kasihan, IT sebatang kara di rumah sendirian. Kakak-kakaknya bekerja di Surabaya. Yuni sebenarnya sudah punya pacar tentara. Tapi tugasnya di Papua. Saya mohon semua diselesaikan,” pinta Ismono.IT yang almumni SMA favorit di Pare ini, tinggal sendiran di rumah. Kedua orangtuanya sudah meninggal. Dia bekerja sebagai staf salah satu koperasi simpan pinjam di Pare

http://www.surya.co.id/2010/01/10/apel-hingga-larut-polisi-diarak-warga.html

Selasa, 05 Januari 2010

Ingin Anak Jadi Polisi Malah Tertipu Rp 250 Juta

Gara-gara ngebet ingin agar anaknya bisa menjadi anggota Polri tanpa melalui prosedur resmi, Supangkat, 45, warga Desa Durbuk, Pademawu, Kabupaten Pamekasan, tertipu. Uang Rp 250 juta milik Supangat pun dikuras mantan guru anaknya, Drs Sahid Hasan Baisari, 43, yang mengaku bisa ‘membeli’ jatah keanggotaan di Mabes polri.

Kini Sahid Hasan Baisari ditahan di Mapolres Pamekasan. Warga Jl KH Agus Salim V, Pamekasan, itu ditangkap Kanit Satu Pidana Umum Polres Pamekasan, Iptu Mohammad Syaiful, di rumah istri mudanya, Khafifah –yang juga mantan wanita pekerja seks komersial (PSK)– di Kabupaten Bondowoso, Minggu (3/1) sore.Selain membekuk tersangka, polisi juga menyita beberapa barang bukti berupa perabot rumah tangga dan peralatan elektronika, seperti pesawat televisi, antena parabola, lemari es, dan VCD player. Adapun Khafifah berhasil kabur dengan membawa perhiasan emas senilai Rp 30 juta dan sepeda motor Yamaha Yupiter Z hasil kejahatan tersangka.aat diperiksa polisi, Sahid Hasan Baisari mengaku telah menghabiskan uang sebesar Rp 250 milik Supangkat. Antara lain untuk biaya membangun took dan rumah berikut isinya, serta membeli sepeda motor dan perhiasan emas untuk istri mudanya.
Kapolres Pamekasan, AKBP Drs Mas Gunarso, didampingi Kasat Reskrim Polres Pamekasan, AKP Kolil, ketika dimintai konfirmasi, Senin (4/1), mengatakan istri muda tersangka juga akan ditangkap. Khafifah kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buronan Polres Pamekasan.
Kapolres menambahkan, kemungkinan ada sekitar delapan orang korban dugaan penipuan Sahid Hasan Baisari namun yang melapor baru seorang. “Kami mengimbau masyarakat jangan percaya orang yang menjanjikan bisa masuk bintara polisi tanpa tes dan minta uang pelicin. Masuk jadi anggota polisi itu tanpa dipungut biaya, asal memenuhi persyaratan dan lulus tes,” tegas Mas Gunarso.
Secara terpisah, Supangkat mengaku masih tidak percaya dirinya telah tertipu sehingga kehilangan uang Rp 250 juta sekaligus menanggung banyak utang kepada tetangga dan famili. Pasalnya, sebagian dari Rp 250 juta yang telah dia setorkan kepada Sahid Hasan Baisari memang berasal dari utang kepada beberapa tetangga dan keluarga.
Supangkat mengungkapkan, Mei 2009 lalu, anaknya, Khairul Umam, 19, mengikuti tes seleksi Bintara Polisi. Namun, saat melihat pengumuman hasil terakhir, di Mapolwiltabes Surabaya, ternyata Khairul Umam dinyatakan tidak lulus lantaran tinggi badan tidak memenuhi syarat.
Ketika berada di Polwiltabes itulah Supangkat dan Khairul Umam bertemu Sahid Hasan Baisari, mantan guru Khairul Umam semasa Madrasah Aliyah (MA). Supangkat pun menceritakan bahwa anaknya tidak lulus tes masuk polisi. Mendengar hal ini, Sahid Hasan menyatakan dirinya sanggup menjadikan Khairul Umam sebagai polisi tanpa melalui tes — langsung dilantik. Caranya, dengan ‘membeli’ jatah di Mabes Polri, Jakarta, seharga Rp 130 juta.

Tidak Yakin
Awalnya Supangkat tidak yakin mendengar pernyataan itu. Namun, karena Sahid Hasan kemudian menyebut sederet nama pejabat Polri –dari level Polwil Madura, Polwiltabes, Polda Jatim hingga Mabes Polri– akhirnya Supangkat pun terpengaruh, dan percaya.“Semula saya hanya diminta membayar uang Rp 1 juta. Tapi 15 hari kemudian dia datang lagi ke rumah minta uang Rp 30 juta, katanya buat menutupi kekurangan tinggi badan anak saya,” kata Supangkat saat diperiksa polisi sebagai saksi korban.

Selama datang berkali-kali ke rumah Supangkat, Sahid Hasan selalu naik mobil berbagai jenis, yang diakui milik pejabat-pejabat Polri. Belakangan terungkap bahwa mobil-mobil itu ternyata sewaan. Sahid Hasan kembali meminta uang, kali ini Rp 23 juta, untuk pembayaran baju seragam dan tanda pangkat saat pelantikan Khairul Umam sebagai anggota Polri. Bukan hanya itu. Sahid Hasan juga meminta uang lagi sebesar Rp 100 juta dengan alasan untuk mengganti biaya orang lain yang lulus tes tetapi tidak ikut pendidikan.

http://www.surya.co.id/2010/01/05/ingin-anak-jadi-polisi-malah-tertipu-rp-250-juta.html

Senin, 04 Januari 2010

Dijebak Kasus Narkoba, Aan Mencari Keadilan di Polri

Susandi alias Aan (30) menuntut keadilan kepada Polri. Mantan karyawan PT Maritim Timur Jaya merasa dijebak oknum polisi terkait kasus kepemilikan narkoba. Sejak 15 Desember, Aan ditahan di Polda Metro Jaya atas kasus narkoba yang tidak pernah dia lakukan. "Hingga sekarang ditahan. Padahal hasil tes urine jelas-jelas negatif," kata tim pendamping Aan dari Kontras, Edwin Partogi melalui telepon, Senin (4/1/2009).

Penahanan Aan bermula pada kejadian 14 Desember lalu. Saat itu Aan mendatangi kantor pusat yakni PT Grup Artha Graha. Sekadar diketahui PT Maritim Timur Jaya merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha. "Aan sedang di kantor pusat dalam rangka mengurus pertanggungjawaban administrasi keuangan. Tiba-tiba datang VL, bersama 3 orang petugas kepolisian Polda Maluku," jelas Edwin.

Saat itu sekitar pukul 14.00 WIB, Aan kemudian dibawa ke lantai 8 gedung tersebut. Dia diminta menjadi saksi untuk kasus kepemilikan senjata api mantan bosnya DT, di perusahaan PT Maritim Timur Jaya."Aan ditanya apakah dia mengetahui tentang pengusaaan senjata oleh DT, mantan Direktur Maritim itu. Ketika diinterogasi, Aan ini dipukuli disaksikan oknum polisi Polda Maluku tersebut," terang Edwin.

Nah, saat interogasi selesai, dari mulut Aan ternyata tidak didapatkan informasi soal senjata api tersebut. "Kemudian mereka mencari-cari kesalahan Aan. Aan babak belur, dipukul, ditendang disaksikan penyidik Polda Maluku. Saat itu Aan hanya menggunakan pakaian dalam," jelasnya.

Edwin sedikit bercerita, DT yang mantan bos Aan itu, memang kini sudah pergi ke China. Nah diduga DT memiliki persoalan tertentu, sehingga Aan pun yang notabene bekas anak buah DT diminta untuk mengakui sesuatu hal."Aan diminta untuk menjadi saksi soal kepemilikan senjata api milik DT," tambahnya.

Hingga akhirnya, istri Aan, Ranti mendatangi kantor Artha Graha sekitar pukul 18.30 WIB. Ranti sempat ditelepon Aan. Sang istri pun berharap agar suaminya yang sudah bekerja selama 5 tahun itu dibebaskan."Istrinya baru bisa bertemu keesokan harinya, jam 2 pagi. Itu pun dia dibawa keluar oleh Petugas Polda Metro Jaya. Aan dituduh memiliki narkoba," jelas Edwin.

Padahal, lanjut Edwin, Aan sama sekali tidak menyentuh barang haram itu. Apalagi dia babak belur dipukuli. "Barang itu sengaja ditaruh, kemudian seolah-olah Aan memilikinya. Hasil tes urine saja negatif," kata Edwin.Polisi bersikukuh Aan kedapatan memiliki narkoba. Dia pun sejak 15 Desember mendekam di tahanan Polda Metro."Kita akan terus mencari keadilan. Kita akan lapor ke Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman," tutupnya.

Dijebak Kasus Narkoba Polda Metro: Aan Ditangkap Polda Maluku Utara di Artha Graha

Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya mengaku menangani kasus Susandi alias Aan (30), limpahan dari Polda Maluku Utara. Pihaknya hanya menjemput Aan di kantor Artha Graha di kawasan SCBD, Jakarta. "Dia ditangkap di Gedung Artha Graha. Yang nangkep Polda Maluku Utara, tadinya ada kasus di Maluku," jelas Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Anjan Pramuka Putra melalui telepon, Senin (4/1/2009).

Aan ditangkap pada 15 Desember 2009. Hingga kini, dia masih ditahan di Mapolda Metro Jaya. "Polda Maluku Utara itu masalah senpi (senjata api), tapi saya tidak mau ikut campur. Kita menangani masalah narkobanya saja," terang Anjan. Dia juga menjamin tidak ada rekayasa terkait penahanan Aan. Bahkan siap diperiksa tim Propam Polri. "Tidak apa-apa. Kalau Propam mau turun ya kita berikan data." tambahnya.

Anjan menuturkan, saat menerima Aan dari Polda Maluku Utara, diperoleh data bahwa Aan memiliki ekstasi 1 butir yang sudah dihancurkan dan disimpan dalam dompet. Setelah Aan melakukan tes urine, hasilnya negatif."Narkoba itu kan kalau sudah 2 hari, atau 1 minggu menggunakan, kan bisa hilang, jadi wajar kalau hasilnya egatif. Tapi itu bukan acuan, adanya barang bukti itu acuan," beber Anjan.

Sebelumnya menurut tim pendamping Aan dari Kontras, Edwin Partogi, Aan ditahan sejak 15 Desember karena diduga dijebak terkait kepemilikan narkoba.Aan sempat dianiaya dengan alasan tidak memberikan informasi terkait kepemilikan senjata api milik mantan bosnya, DT, di PT Maritim Timur Jaya. Aan diduga dianiaya seseorang di Gedung Artha Graha dengan disaksikan 3 oknum Polda Maluku Utara.

Hingga kemudian setelah beberapa jam diinterogasi disertai penganiayaan, dia diserahkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan memiliki narkoba."Kami memiliki visum dugaan penganiayaan dari Rumah Sakit Jakarta," jelas Edwin melalui telepon.

Dijebak Kasus Narkoba Kompolnas Monitor Kasus Penangkapan Aan di Artha Graha

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan monitoring terkait kasus Susandi alias Aan (30). Kompolnas akan meminta laporan dari Polda Maluku Utara terkait kasus mantan karyawan PT Maritim Timur Jaya, anak perusahaan Artha Graha. "Kita mempertanyakan kehadiran oknum perwira Polda Maluku Utara di Gedung Artha Graha. Ada apa? Laporan yang masuk ke kita Aan dijebak kasus narkoba," jelas anggota Kompolnas Novel Ali melalui telepon, Senin (4/1/2009).

Novel menceritakan, laporan yang dia terima, Aan dipukuli seseorang berinisial V, di hadapan 3 oknum Polda Maluku Utara. "Kalau benar itu terjadi, semestinya fungsi Polri itu sebagai pencegahan dioptimalkan. Jangan dibiarkan," tambah Novel. Kemudian, Aan ditahan di Mapolda Metro Jaya terkait kasus kepemilikan narkoba. "Kita juga mempertanyakan ini. Apa benar?" terangnya.

Dia berharap, polisi yang menangani kasus ini memiliki nurani. "Ada seseorang dipukuli itu kan tidak benar. Kita ingin agar pimpinan kepolisian bisa mengambil tindakan terhadap oknum polisi ini," tutupnya. Dengan didampingi Kontras, Aan melaporkan dugaan penganiayaan yang dilakukan pada dirinya di Gedung Artha Graha pada 14 Desember 2009 lalu.

Berdasarkan pernyataan dari Kontras, Aan dianiaya seseorang berinisial V di hadapan 3 orang oknum Polda Maluku Utara. Alasannya Aan hendak diperiksa terkait kepemilikan senjata api milik mantan bosnya DT, di PT Maritim Timur Jaya.

Aan kini meringkuk di tahanan narkoba Polda Metro Jaya atas kepemilikan 1 butir ekstasi. Padahal tes urine hasilnya Aan negatif dari zat terlarang itu. Pihak Polda Metro mengaku diserahi Aan oleh Polda Maluku Utara di Artha Graha.

Selasa, 22 Desember 2009

Dua Tangan Kasman Dipaku Polisi, Ternyata Salah Tangkap

Korban salah tangkap yang kedua tangannya dipaku polisi, Kasman Noho (24), akhirnya mengadukan atasannya, Imran Hidipu, ke Polda Gorontalo, Selasa (22/12/2009). Menurut Kasman, meskipun polisi yang menganiaya dirinya telah diberi sanksi, ia baru merasa adil jika pimpinan Koperasi Jaya Lestari tempatnya bekerja diadili."Gara-gara bos saya menuduh saya mencuri motornya, polisi menangkap hingga menganiaya saya di tahanan. Oleh karena itu, saya juga melaporkan bos saya atas perbuatan tidak menyenangkan," tukas Kasman.
Kasman menjelaskan, pimpinan koperasi tersebut memang memberikan fasilitas motor untuk menagih pinjaman dari para anggota koperasi. Motor tersebut kemudian digunakannya untuk menghabiskan malam Minggu bersama pacar hingga akhirnya ditemukan hilang di halaman rumah. Kasman akhirnya melaporkan hal tersebut kepada polisi, tetapi tak digubris. "Besoknya, bos saya juga melapor kalau yang mencuri motor tersebut saya sendiri sehingga saya ditangkap," tuturnya.
Kasus Kasman Noho tersebut sempat menghebohkan masyarakat Gorontalo karena ia disiksa dengan cara dipaku kedua tangannya di atas meja dan dipukuli hingga bengkak nyaris di seluruh tubuh. Ibu korban, Radi Yusuf (40), mengaku baru bisa menemui anaknya di tahanan setelah beberapa kali digagalkan oleh pihak Polres Kota Gorontalo. "Saya membawa anak saya ke rumah sakit karena kondisinya memang sudah babak belur," katanya. Kini, oknum polisi yang menganiaya Kasman sedang menjalani proses hukum di Polda Gorontalo.
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/12/22/11091025/dua.tangan.kasman.dipaku.polisi.ternyata.salah.tangkap

Bukan Cuma Dipaku Polisi, Kaki Kasman Juga Dipukuli Pakai Kayu

Korban salah tangkap, Kasman Noho (24), menjalani pemeriksaan perdana terkait kasus penganiayaan yang dilakukan oknum polisi terhadapnya. Kasman yang ditemani ibu dan sepupunya datang ke Polda Gorontalo untuk memberi kesaksian mengenai kasus yang menimpa dirinya."Saya gembira karena akhirnya oknum polisi itu akan diproses secara hukum hingga nama saya kembali pulih," kata Kasman yang dianiaya karena dituduh mencuri motor atasannya, Selasa (22/12/2009).

Sebelumnya, ia mengaku tak tahu harus mengadu kepada siapa untuk memperoleh keadilan pascaperlakuan sadis yang diterimanya selama di tahan di Polres Kota Gorontalo. Ia disiksa akibat enggan mengaku telah mencuri motor atasannya karena merasa memang tak pernah melakukan hal tersebut.Kedua tangannya dipaku di atas meja serta dipukul dengan kayu hingga bengkak di kaki, kepala, dan punggung. Kasus tersebut terungkap saat keluarga korban mengadu kepada wartawan sehingga berita tersebut tersebar dan menghebohkan masyarakat.

Kasman menambahkan, pencurian yang dituduhkan kepadanya akhirnya tidak terbukti karena polisi menemukan motor yang hilang itu di sebuah halaman masjid. Oknum polisi buser berinisial N itu kini ditahan Polda Gorontalo dan akan dikenakan sanksi menurut aturan yang berlaku.

Pihak kepolisian dari kapolres, kapolda, hingga Kapolri memohon maaf atas kejadian tersebut dan berjanji akan memberikan ganjaran setimpal bagi oknum polisi tersebut. Polisi juga membayar biaya perawatan intensif korban di Rumah Sakit Aloei Saboe beberapa waktu lalu. Meski kondisinya telah pulih, korban mengaku masih kesulitan menggerakkan kedua telapak tangannya.

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/12/22/14250489/bukan.cuma.dipaku.polisi.kaki.kasman.juga.dipukuli.pakai.kayu