Sabtu, 06 Maret 2010

Hati-hati Menumpas Terorisme di Aceh

Wilayah Aceh, entah kenapa seperti ditakdirkan tak pernah benar-benar damai. Setelah pemberontakan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berkobar selama dua dekade berhasil diredam dengan perdamaian, kini api baru muncul di provinsi paling barat di Republik ini. Kelompok teroris, disebut-sebut muncul dan mendapat reaksi dari aparat Polri. Dalam operasi penyergapan yang dilakukan aparat pekan ini tercatat sedikitnya dua orang sipil dan seorang polisi tewas terbunuh.
Gangguan keamanan yang memakan korban jiwa di satu wilayah, bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga sesuatu yang mencerminkan potensi disintegrasi bangsa. Di sini, Polri benar-benar dituntut cermat bertindak, agar rakyat Aceh yang pasti masih traumatis hidup di era pemberontakan GAM, tidak kembali menjadi korban dan terseret dalam api antipati terhadap Republik.
Belum ada catatan resmi berapa puluh ribu jumlah korban jiwa selama Aceh bergolak. Namun, seorang tokoh cendekiawan Aceh, Idal Bahri Ismady pernah menyebutkan bahwa ketika mulai mengangkat senjata pada tahun 1976, kekuatan GAM tidaklah terlalu besar.
Pada perkembangannya, GAM berkembang sangat signifikan waktu masa 10 tahun semasa darurat militer. Dan dari beragam alasan warga Aceh yang memutuskan untuk mendukung pemberontakan melawan TNI, selain karena faktor ideologis juga ada kelompok besar yang terdorong dendam karena kerabat mereka disakiti atau tewas akibat operasi militer.
Yang terjadi sekarang mungkin sama sekali berbeda. Jaringan teroris internasional, seperti dilansir Singapura, memilih Aceh sebagai daerah basis untuk mengacau lalu lintas niaga khususnya kapal tanker yang melintasi Selat Malaka.
Sangat penting, adalah bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap kekuatan teroris tanpa melanggar HAM. Polri harus mampu menghindari salah tangkap apalagi salah tembak terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Bukan urusan mudah, karena teroris, sebagaimana gerilyawan GAM dulu, sering kali membaur dan menyamar di tengah masyarakat.
Tetapi, mengingat kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dari trauma, pilihan sulit itu harus diambil. Atau, bayang-bayang disintegrasi kembali muncul di Serambi Mekkah

Seorang ibu keturunan ”Jawa/Suriname”Mencari Leluhur

Seorang ibu keturunan ”Jawa/Suriname” berumur lebih kurang 63 tahun bernama Soeleika Karso yang sekarang bermukim di Kota De Amelo (Hangelo) Negeri Belanda, bermaksud mencari jejak leluhurnya yang berasal dari daerah/desa (distrik waktu jaman Belanda ) Gending, Salatiga (Jawa Tengah).

Menurut penuturan Ibu Soeleika Karso, pada sekitar tahun 1920, tepatnya tanggal 4 Februari 1920, kakeknya (Embah Kakungnya) bernama Karso waktu itu berumur lebih kurang 26 tahun sebagai petani yang sedang bekerja di sawah sekitar Salatiga ”telah ditinggalkan” oleh neneknya (Embah Putrinya) bernama Soemirah waktu itu berumur 25 tahun dan anak semata wayangnya bernama Anak Karso berumur 6 tahun kala itu.

Anak beranak Ibu Soemirah dan Anak Karso dibawa paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Suriname di Amerika Latin/Amerika Selatan yang waktu itu masih merupakan jajahan Belanda lewat Pelabuhan Laut Semarang, untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan gula di sana.

Kepergian Ibu Soemirah dan anak Karso tentu saja tanpa sepengetahuan dan izin dari Bapak Karso, karena mereka ”diculik” oleh agen-agen tenaga kerja saat mereka berdua hendak pergi ke pasar.

Sejak kepergian Ibu Soemirah dan anak semata wayangnya anak Karso ke Suriname, praktis saat itu mereka berdua kehilangan kontak sampai akhir hayatnya di negeri orang dengan Bapak Karso yang masih ”tertinggal” di daerah Salatiga, apalagi waktu itu hubungan surat menyurat dan komunikasi masih sulit dijangkau antara Suriname, Salatiga.

Anak Karso yang tumbuh dewasa, berkeluarga dan menikah dengan gadis sesama keturunan Jawa di Suriname, maka lahirlah kemudian pada tahun 1947 anak perempuan yang ia beri nama Soeleika Karso.

Ibu Soeleika Karso yang setelah berkeluarga serta kematian embah putrinya Ibu Soemirah dan bapaknya anak Karso dan ibunya, kemudian pindah dari Suriname ke Negeri Belanda hingga sekarang. Di masa tuanya, Ibu Soeleika Karso berkeinginan sekali melacak jejak leluhurnya di Salatiga.

Untuk itu kepada para pembaca setia Suara Merdeka yang sekiranya mengetahui keberadaan keturunan Bapak Karso, atau nama-nama yang memakai nama keluarga ”Karso” dari Salatiga mohon dapat menghubunginya, melalui alamat saya yang ada dibawah ini.

Akhirnya, untuk dan atas nama Ibu Soeleika Karso saya mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pembaca Suara Merdeka yang budiman, yang telah sudi untuk melacak dan memberitahukan keberadaan anak keturunan Bapak Karso.

H. Untung Rustadi Soekono
Kompleks BPP Teknologi, JI. Teknologi IX, No H-8 / B-15,
Meruya Utara-Kembangan
Telp (021)5851592, (021) 92803308)
Jakarta Barat

Gempa 6,5 Skala Richter (SR) Guncang Mentawai

Gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumbar dirasakan di Bengkulu cukup kuat, sehingga warga sempat berhamburan keluar rumah.Gempa yang terjadi, Jumat (5/3) sekitar pukul 23.07 WIB itu, membuat warga Kota Bengkulu terbangun dan berhamburan keluar rumah, namun setelah beberapa menit gempa tersebut renda, kata Amir, warga Pagar Dewa, Kota Bengkulu.

“Saya sedang lelap tidur tiba-tiba ada goncangang kuat, saya langsung bangun memboyong anak ke luar rumah,” katanya. Informasi yang dihimpun dari Badan Mitrologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, gempa besar itu berada pada episentrum 3.93 Lintang Selatan (LS) dan 100.83 Bujur Timur (BT).

Pusat gempa berada di laut sekitar 119 Km Tenggara Pagai Selatan Mentawai, Sumbar atau 142 Km Barat daya Lais, Bengkulu, dengan kedalaman 10 Km, tidak berpotensi tsunami.Sebelumnya Bengkulu digoncagng gempa 5.0 SR, sekitar 62 Km Barat Lais-Bengkulu dengan kedalaman 13 Km.

Provinsi Bengkulu pernah dua kali diguncang gempa besar yakni Juni 2000 dengan kekuatan 7,3 SR dan September 2007 besarnya 7,9 SR, menelan korban jiwa dan ribuan rumah hancur dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah
http://www.surya.co.id/2010/03/06/gempa-65-skala-richter-sr-guncang-mentawai.html