Wilayah Aceh, entah kenapa seperti ditakdirkan tak pernah benar-benar damai. Setelah pemberontakan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berkobar selama dua dekade berhasil diredam dengan perdamaian, kini api baru muncul di provinsi paling barat di Republik ini. Kelompok teroris, disebut-sebut muncul dan mendapat reaksi dari aparat Polri. Dalam operasi penyergapan yang dilakukan aparat pekan ini tercatat sedikitnya dua orang sipil dan seorang polisi tewas terbunuh.
Gangguan keamanan yang memakan korban jiwa di satu wilayah, bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga sesuatu yang mencerminkan potensi disintegrasi bangsa. Di sini, Polri benar-benar dituntut cermat bertindak, agar rakyat Aceh yang pasti masih traumatis hidup di era pemberontakan GAM, tidak kembali menjadi korban dan terseret dalam api antipati terhadap Republik.
Belum ada catatan resmi berapa puluh ribu jumlah korban jiwa selama Aceh bergolak. Namun, seorang tokoh cendekiawan Aceh, Idal Bahri Ismady pernah menyebutkan bahwa ketika mulai mengangkat senjata pada tahun 1976, kekuatan GAM tidaklah terlalu besar.
Pada perkembangannya, GAM berkembang sangat signifikan waktu masa 10 tahun semasa darurat militer. Dan dari beragam alasan warga Aceh yang memutuskan untuk mendukung pemberontakan melawan TNI, selain karena faktor ideologis juga ada kelompok besar yang terdorong dendam karena kerabat mereka disakiti atau tewas akibat operasi militer.
Yang terjadi sekarang mungkin sama sekali berbeda. Jaringan teroris internasional, seperti dilansir Singapura, memilih Aceh sebagai daerah basis untuk mengacau lalu lintas niaga khususnya kapal tanker yang melintasi Selat Malaka.
Sangat penting, adalah bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap kekuatan teroris tanpa melanggar HAM. Polri harus mampu menghindari salah tangkap apalagi salah tembak terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Bukan urusan mudah, karena teroris, sebagaimana gerilyawan GAM dulu, sering kali membaur dan menyamar di tengah masyarakat.
Tetapi, mengingat kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dari trauma, pilihan sulit itu harus diambil. Atau, bayang-bayang disintegrasi kembali muncul di Serambi Mekkah
Gangguan keamanan yang memakan korban jiwa di satu wilayah, bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga sesuatu yang mencerminkan potensi disintegrasi bangsa. Di sini, Polri benar-benar dituntut cermat bertindak, agar rakyat Aceh yang pasti masih traumatis hidup di era pemberontakan GAM, tidak kembali menjadi korban dan terseret dalam api antipati terhadap Republik.
Belum ada catatan resmi berapa puluh ribu jumlah korban jiwa selama Aceh bergolak. Namun, seorang tokoh cendekiawan Aceh, Idal Bahri Ismady pernah menyebutkan bahwa ketika mulai mengangkat senjata pada tahun 1976, kekuatan GAM tidaklah terlalu besar.
Pada perkembangannya, GAM berkembang sangat signifikan waktu masa 10 tahun semasa darurat militer. Dan dari beragam alasan warga Aceh yang memutuskan untuk mendukung pemberontakan melawan TNI, selain karena faktor ideologis juga ada kelompok besar yang terdorong dendam karena kerabat mereka disakiti atau tewas akibat operasi militer.
Yang terjadi sekarang mungkin sama sekali berbeda. Jaringan teroris internasional, seperti dilansir Singapura, memilih Aceh sebagai daerah basis untuk mengacau lalu lintas niaga khususnya kapal tanker yang melintasi Selat Malaka.
Sangat penting, adalah bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap kekuatan teroris tanpa melanggar HAM. Polri harus mampu menghindari salah tangkap apalagi salah tembak terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Bukan urusan mudah, karena teroris, sebagaimana gerilyawan GAM dulu, sering kali membaur dan menyamar di tengah masyarakat.
Tetapi, mengingat kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dari trauma, pilihan sulit itu harus diambil. Atau, bayang-bayang disintegrasi kembali muncul di Serambi Mekkah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar