Gangguan keamanan yang memakan korban jiwa di satu wilayah, bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga sesuatu yang mencerminkan potensi disintegrasi bangsa. Di sini, Polri benar-benar dituntut cermat bertindak, agar rakyat Aceh yang pasti masih traumatis hidup di era pemberontakan GAM, tidak kembali menjadi korban dan terseret dalam api antipati terhadap Republik.
Belum ada catatan resmi berapa puluh ribu jumlah korban jiwa selama Aceh bergolak. Namun, seorang tokoh cendekiawan Aceh, Idal Bahri Ismady pernah menyebutkan bahwa ketika mulai mengangkat senjata pada tahun 1976, kekuatan GAM tidaklah terlalu besar.
Pada perkembangannya, GAM berkembang sangat signifikan waktu masa 10 tahun semasa darurat militer. Dan dari beragam alasan warga Aceh yang memutuskan untuk mendukung pemberontakan melawan TNI, selain karena faktor ideologis juga ada kelompok besar yang terdorong dendam karena kerabat mereka disakiti atau tewas akibat operasi militer.
Yang terjadi sekarang mungkin sama sekali berbeda. Jaringan teroris internasional, seperti dilansir Singapura, memilih Aceh sebagai daerah basis untuk mengacau lalu lintas niaga khususnya kapal tanker yang melintasi Selat Malaka.
Sangat penting, adalah bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap kekuatan teroris tanpa melanggar HAM. Polri harus mampu menghindari salah tangkap apalagi salah tembak terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Bukan urusan mudah, karena teroris, sebagaimana gerilyawan GAM dulu, sering kali membaur dan menyamar di tengah masyarakat.
Tetapi, mengingat kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dari trauma, pilihan sulit itu harus diambil. Atau, bayang-bayang disintegrasi kembali muncul di Serambi Mekkah