Makin banyak saja calon anggota legislatif (caleg) yang gagal pemilu 2009 kemudian mengalami depresi berat bahkan gila. Wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (15/4) kedatangan sembilan pasien baru, enam di antaranya caleg yang gila.“Sembilan orang stres itu berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan Pekalongan. Namun kita tidak bisa menyebutkan identitas mereka, ndak etis,” kata Supono Mustajab, pengasuh Wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba, Rabu (15/4).
Selain caleg, kata dia, di antara sembilan pasien baru itu merupakan tim sukses dan keluarga caleg yang mengalami depresi akibat kekalahan dalam pemilu.Menurut dia, tingkah pasien-pasien baru itu aneh-aneh. Ada yang sering mengigau minta uangnya yang telah dikeluarkan untuk biaya kampanye agar dikembalikan. Bahkan, ada yang selalu ingin telanjang, serta ada pula yang diam terus tanpa respons saat disapa. “Mereka saat ini dirawat oleh 11 dokter, dua di antaranya spesialis kejiwaan,” katanya.Yang menarik, kedatangan para caleg stres di Wisma Rehabilitasi Mental itu disambut langsung oleh Sumanto. Lelaki yang pernah dipenjara karena memakan mayat (kanibal) itu sekarang memang bekerja di wisma tersebut.
Sekadar mengingatkan, Sumanto, lelaki asal Desa Plumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah itu, pada 2003 lalu membuat heboh karena kedapatan memakan mayat manusia.Sumanto adalah pemuda lugu. Kedekatannya dengan bunga desanya, Rasmini, membuat iri pemuda desa lain dan Sumanto sering dijadikan bahan ejekan mereka. Sumanto pun bertekad memiliki ilmu kebal agar tak lagi diejek atau disakiti orang. Ia pun pergi ke gunung untuk bertapa dan mendapat kesaktian.
Setelah itu, Sumanto merantau ke Lampung karena terdesak keadaan ekonomi orangtua. Di sana, ia berkenalan dengan sekelompok pemuda yang memberinya ajaran baru. Saat sedang pesta makan daging rusa hasil berburu, mereka mengajak Sumanto menorehkan lengannya dan memasukkan sedikit daging rusa –atau daging apa pun hasil buruan mereka– dengan tujuan agar bertambah kuat dan tak dibayangi arwah hasil buruan.
Tanpa sadar, Sumanto meresapi ajaran ini dan mempraktikkannya saat ia membunuh seorang preman yang ingin merampas uangnya yang akan ia kirim ke kampung. Dengan maksud memuliakan mayat sang preman, Sumanto memakan mayat itu. Inilah awal mula petualangannya. Dari satu mayat, Sumanto bagai ketagihan memakan daging binatang hidup-hidup, termasuk mayat manusia dari lubang kubur, hingga tertangkap polisi.
Ia ditangkap karena terbukti mencuri dan memakan daging mayat Mbah Rinah, 81, warga Majatengah, Kecamatan Kemangkon. Saat digeledah di rumahnya, polisi menemukan tulang belulang manusia. Kanibal ini mengaku telah memakan daging empat orang.
Setelah diadili, Sumanto dipenjara 5 tahun di LP Purwokerto. Dan pada 24 Oktober 2006, Sumanto bebas setelah mendapat beberapa kali remisi. Selanjutnya Sumanto diserahkan pada pengelola Pondok Pesantren An-Nur di Karang Tengah Purbalingga. Kini Sumanto bekerja di Wisma Rehabilitasi Mental di Desa Bungkanel, Karanganyar, Purbalingga.
Rabu (15/4) kemarin, Sumanto dengan tersenyum menyambut kedatangan para caleg yang gila. Ia terlihat sumringah ketika menemani caleg perempuan setengah gila yang lumayan cantik. “Saya senang bisa menemani karena lumayan cantik,” kata Sumanto.Di Wisma itu terdapat 25 kamar khusus bagi caleg stres. Ke-25 kamar itu masing-masing berukuran 3 x 4 meter dilengkapi tempat tidur, lemari, dan kamar mandi.
Mengenai metode perawatan, Sumanto mengatakan para pasien akan ditangani secara medis dan spiritual melalui siraman rohani setiap selesai salat. Selain itu, dilakukan terapi mandi malam, istighotsah, dan tahlilan. Wisma itu saat ini memiliki 300 pasien gangguan mental dan narkoba yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang 100 orang di antaranya menjalani rawat inap, termasuk para caleg yang gila tersebut.
Dirantai
Di Bojonegoro, dua caleg dirawat khusus di panti rehabilitasi Pondok Pesantren An-Nawawi di Desa Sobontoro, Kecamatan Balen, lantaran sres berat setelah gagal dalam Pemilu 2009. Adalah Iskandar Panip, 50, warga Jogjakarta yang gagal dalam pencalonanya menjadi anggota DPR RI dari PAN; dan Masyudi, 35, warga Magelang selaku caleg Gerindra yang kalah dalam pencalonanya sebagai anggota DPRD setempat.
Dalam perawatannya, kondisi keduanya sangat memprihatinkan. Iskandar Panip terpaksa dirantai kakinya untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, sedangkan Masyudi hanya terus terdiam dalam kamar pondok yang diasuh oleh KH Fahrurozi tersebut.
Iskandar Panip dibawa ke panti rehabilitasi ini sejak Senin (13/4), sedangkan Masyudi tiba Rabu (15/4) pagi kemarin. Keduanya diantar keluarga masing-masing. “Keduanya shok berat setelah gagal dalam pemilu. Mereka harus mendapatkan perawatan intensif untuk bisa sembuh dan kembali normal,” kata KH Fahrurrozi, Rabu (15/4).
Keluarganya juga mengakui caleg tersebut mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi anggota dewan. “Mereka sudah habis uang banyak untuk nyaleg. Karena gagal, pikirannya jadi terganggu,” ungkap Kiai Fahrurrozi.
Ketika diwawancarai, Iskandar Panip dalam keadaan kaki dirantai di salah satu tiang bangunan pondok, pembicaraannya ngelantur. Hanya beberapa pertanyaan yang berhasil dijawabnya, misalnya dari partai apa. Ia mengaku sudah menghabiskan uang Rp 100 juta dalam pencalonannya. Namun, suara yang didapatkanya sangat kecil. Selanjutnya jawabannya ngelantur lagi sehingga KH Fahrurrozi langsung mengarahkan wartawan untuk wawancara dengan dirinya saja. Sedangkan Masyudi, kepada siapapun masih enggan berbicara. Matanya terus menerawang dan mulutnya tertutup rapat.
Di Jombang, enam caleg yang stres setelah perolehan suaranya jeblok, diantar keluarganya untuk mendapatkan perawatan di Griya Cinta Kasih (GCK), sebuah panti perawatan mental di Dusun Sidowaras, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto. Namun pihak panti menolak merawat keenam caleg tersebut dengan dalih panti perawatan GCK dikhususkan untuk merawat paisen dari keluraga miskin.
Pengelola GCK, Djamiin menjelaskan, keenam caleg itu datang pada Senin-Selasa (13-14/4). “Terakhir tadi malam (Selasa malam), diantar pakai mobil,” kata Djamiin, Rabu. Djamiin maupun sekretarisnya, Stevanus Mario Edward menolak membeber nama keenam caleg itu. “Saya kira tidak etis,” kilah Stevi. Hanya disebutkan, mereka itu caleg dari parpol besar dan parpol kecil. Rinciannya, dua dari Ponorogo dan Nganjuk, dan selebihnya dari Jombang. Selanjutnya pihak keluarga disarankan membawa keenam caleg itu ke rumah sakit jiwa.
Stevie menjelaskan, GCK mengategorikan pasiennya dalam tiga kelompok, sesuai tingkat sakit mentalnya, dengan sebutan warna merah, kuning, dan hijau. Warna merah berarti pasien mengalami gangguan kejiwaan parah bahkan cenderung melukai diri sendiri serta merusak. Sedangkan warna kuning untuk pasien yang cenderung termenung dengan pikiran kosong. Sedangkan warna hijau adalah yang depresi sedang dan ringan. Menurut Stevie dan Djumiin, keenam caleg itu masih kategori kuning. “Namun dua dari enam caleg itu sudah mendekati kategori warna merah,” kata Stevie
http://www.surya.co.id/2009/04/16/caleg-gila-ditemani-sumanto-di-bojonegoro-caleg-terpaksa-dirantai.html#comment-41712.