Rabu, 30 Desember 2009

Pendidikan Instan Menggejala Warga Menengah Atas Mendominasi

Beredarnya 1.463 lembar ijazah ilegal dari Yogyakarta menodai citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Inilah yang terjadi saat pendidikan berkualitas semakin sulit terjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Budaya instan pendidikan pun tak terhindarkan saat keterbatasan sebagian masyarakat ini dibaca oleh pasar.

Dari kacamata bisnis, DIY merupakan pasar yang sangat menggiurkan. Setiap tahun, tak kurang dari 40.000 pencari ijazah sarjana masuk ke kota ini. Akan tetapi, potensi pasar ini harus diperebutkan 805 program studi (prodi) dari sekitar 126 perguruan tinggi.

Dari jumlah ini, hanya beberapa gelintir yang mampu memperoleh jumlah mahasiswa yang memadai. Sisanya harus berjuang bertahan atau memilih menempuh jalan singkat, yaitu dengan membuat iming-iming tanpa peduli kualitas pendidikan. "Ijazah ilegal adalah salah satu bentuk iming-iming itu. Harga ijazah seperti ini murah, proses kuliahnya singkat, dan disertai manipulasi jumlah SKS yang telah ditempuh," kata Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah V DIY Budi Santosa Wignyosukarto di Yogyakarta, Selasa (29/12).

Kepentingan bisnis ini bertemu kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi dan akademis terbatas. Hampir semua korban ijazah ilegal yang diterbitkan Prodi Bimbingan Konseling Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Catur Sakti berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kasus ini ditutup dengan pencabutan izin prodi yang menerbitkan ijazah ilegal serta diperketatnya standar pendidikan tinggi di Yogyakarta. "Langkah-langkah ini untuk menjaga kualitas pendidikan di Yogyakarta," kata Budi.

Namun, dari kejadian tersebut, satu pelajaran bisa dipetik bahwa tingginya biaya perguruan tinggi membuat sebagian kalangan menengah ke bawah terpaksa memilih jalan pintas demi meraih masa depannya.

Menengok sudut-sudut parkir sejumlah kampus besar di Yogyakarta, kalangan mahasiswa Yogyakarta semakin bergeser pada kalangan menengah ke atas. Di berbagai kawasan kampus terlihat mobil-mobil mahasiswa dengan harga lebih dari Rp 150 juta. Tak terkecuali di Kampus Universitas Gadjah Mada yang selama ini menyandang sebutan sebagai kampus kerakyatan.

Dalam sebuah unjuk rasa, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM menyebutkan, biaya kuliah di UGM naik berlipat ganda sejak statusnya berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN) atau mulai sekitar tahun 2002. Dilihat dari sumbangan masuk yang bisa mencapai Rp 125 juta di Fakultas Kedokteran, sulit membayangkan anak-anak dari keluarga ekonomi lemah memasuki kampus ini.

Sekolah gratis

Lembaran pendidikan seharusnya ditutup dengan optimisme dan mawas diri oleh para pelakunya. Tahun 2010 harus menjadi tahun pencerahan bagi sektor pendidikan. Setidaknya, pencerahan ini ditunjukkan di jenjang pendidikan dasar dengan program sekolah gratis yang sudah banyak didengung-dengungkan di kabupaten dan kota.

Di Bantul, dana biaya operasional pendidikan (BOP) digelontorkan sebesar Rp 126.000 per tahun per siswa untuk SD dan Rp 130.000 per tahun per siswa untuk SMP. Kebijakan serupa dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang memberikan bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) sebesar Rp 250.000 per tahun per siswa SD dan Rp 625.000 per tahun per siswa SMP.

Pendidikan instan, mahalnya pendidikan tinggi, dan belum berhasilnya pendidikan gratis merupakan tantangan bidang pendidikan ke depan. Harapan kiranya selalu ada apabila semua pihak berpegang pada prinsip pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa sekaligus investasi bagi kelangsungan negara ini di masa depan.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/30/11183450/pendidikan.instan.menggejala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar