Hal tersebut terungkap, setelah diketahui lembaga keuangan Islam seperti Abu Dhabi Islamic Bank dan Dubai Islamic Bank menyisihkan milyaran dirham untuk menutupi kerugian akibat kredit macet. “Lembaga (keuangan) Islam tidak menerapkan prinsip-prinsip syariah,” kata Muhammad Daud Bakar, seorang pakar keuangan syariah yang juga Managing Director Amanie Islamic Finance Consultancy. “Dalam beberapa hal mereka tidak melakukannya dengan baik, sehingga menyebabkan terjadi kredit buruk dalam jumlah besar atau hal lainnya.”
Beberapa tahun terakhir, kredit perumahan sangat populer di kalangan investor properti di Uni Emirat Arab. Sebut saja Amlak dan Tamweel, dua lembaga keuangan terbesar, limapuluh persen kreditnya dikucurkan untuk bidang properti. Mereka menawarkan kredit perumahan dengan uang muka 5 persen saja, sementara debt-service ratio-nya hingga 50%, kira-kira separuh dari gaji peminjam. Amlak dan Tamweel menolak berkomentar tentang hal itu kepada harian The National yang menurunkan laporannya (17/2/2010).
Ketentuan kredit yang mudah dan murah, memicu pembelian properti semata-mata untuk spekulasi. Demikian menurut para analis. “Produk-produk kredit perumahan Islam, dari strukturnya, menyebabkan spekulasi di pasar. Karena pembeli tidak perlu membayar pinjaman, kecuali jika rumah mereka sudah dibangun,” kata Khalid Howladar dari bagian kredit Moody’s Investors Service. “Banyak spekulartor ‘murni’ tidak akan memilih kredit perumahan Islam, jika mereka diwajibkan untuk membayar pinjaman sejak hari pertama (akad kredit).” Penerapan angsuran tetap oleh para developer tanpa memeriksa dengan baik kemampuan si peminjam untuk mencicil pinjamannya, juga mendukung terjadinya spekulasi.
Pelanggaran lain yang dilakukan lembaga keuangan Islam adalah, di antara mereka ada yang memberlakukan security cheque, yang jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah. Namun dikatakan oleh Hussain Hamid Hassan, seorang pakar keuangan terkemuka yang memegang jabatan di banyak institusi keuangan, “Pelanggaran yang semacam ini bukan pelanggaran terkait produk bank yang (sudah) sesuai hukum syariah, melainkan pelanggaran pada kebijakan kredit bank.”
Jawad Ali, seorang praktisi dan pemilik firma hukum King and Spalding, berpendapat bahwa pelanggaran juga terjadi karena faktor budaya. Contohnya pada pinjam-meminjam ijarah (sewa-beli). “Bukan instrumennya saja yang memungkinkan terjadinya pelanggaran. Ada budaya selama ini yang memperbolehkan pihak pembeli pertama mengeruk untung dengan cara menjual kontrak kredit mereka kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemberi kredit,” kata Ali. “Menurut aturan syariah yang ketat, jika (perjanjian sewa-beli) ijarah sudah dikeluarkan, maka properti tersebut hanya boleh dimanfaatkan oleh si penyewa (debitur). Menurut hukum syariah, si pemberi pinjaman (dalam hal ini bank) menyewakan sesuatu kepada Anda, yang tidak boleh dipindahtangankan tanpa sepengetahuan bank.”
Para pakar syariah mengatakan, pelanggaran terjadi karena salah menerapkan prinsip-prinsip syariah. “Tugas kami adalah merancang produk-produk (perbankan) ini; tentang bagaimana produk itu ditawarkan kepada pasar, maka itu terserah pihak kreditur,” kata Hussain Hamid Hassan yang juga petinggi di Dubai Islamic Bank dan Dubai Financial Market.
Hassan yakin dan bersikukuh, produk-produk keuangan yang ada sudah sesuai dengan ketentuan syariah. Tapi masalahnya, para bankir yang menjual produk itu banyak yang memiliki latar belakang perbankan konvensional. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang perbankan syariah.“Kita tidak memiliki sumber daya manusia yang tepat untuk melaksanakannya,” ujar Hassan. “Industri keuangan Islam masih muda dan masih dalam proses menata prinsip, kebijakan dan pedoman pelaksanaan. Masalahnya adalah orang yang mengimplementasikan dan melaksanakan seringkali cara berpikirnya seperti lembaga keuangan konvensional,” tegas Hassan.
http://www.surya.co.id/2010/02/20/banyak-bank-islam-langgar-aturan-syariah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar