Perkawinan di `bawah tangan` atau siri dan kawin kontrak (mut`ah) kembali digugat. Terutama setelah muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. Nikah siri bisa dipidana. Di suatu wilayah Pasuruan, nikah siri sudah jadi hal lumrah.
Wilayah di Kabupaten Pasuruan yang disebut-sebut paling biasa dengan praktik nikah tanpa tercatat resmi atau nikah siri adalah Kecamatan Rembang. Kabarnya, ada tiga desa yang menonjol, yakni Kalisat, Pekoren dan Sumberglagah. Bahkan, ada istilah khusus untuk kawin siri di sana, yakni nikah landasan.
“Nikah landasan itu artinya, seorang lelaki yang menginginkan kawin kontrak atau nikah siri harus memberikan imbalan semacam mahar berupa tanah untuk lahan pertanian kepada si perempuan yang dikawininya,” kata Ali Sodikin, Direktur Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE), organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan di Pasuruan.
Kawin landasan ini masih tetap berlaku di sana. Hanya saja, nilai `maharnya` kini semakin mengecil. Bukan tanah lagi yang diberikan oleh pihak lelaki ke pihak perempuan yang dinikahi, melainkan mesin jahit atau obras.
Di masa lalu, ketika pencatatan perkawinan belum disadari secara luas di masyarakat, termasuk di warga Rembang, nikah siri serta kawin kontrak sudah dianggap sebagai nikah resmi. Dan warga masyarakat pun mengakui pasangan yang nikah siri adalah pasangan yang sah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh negatif gaya hidup konsumtif, nikah siri mulai dilandasi motif-motif ekonomi. Pernikahan siri digampangkan, hanya agar tidak disebut melakukan perzinahan. Sedangkan tujuan mulia pernikahan menjadi urusan kesekian.
Buktinya, di Rembang, tidak sedikit wanita yang telah melakukan nikah siri minimal tiga-empat kali. Bahkan, ada yang melakukan nikah siri berkali-kali sampai 29 kali.
“Sekarang kawin siri sudah jadi cara baru untuk meningkatkan derajat ekonomi. Di sini, asalkan seorang pria berdandan necis dan datang bawa mobil, tidak peduli latar belakang sukunya Jawa, Madura, Arab atau bahkan China, pasti banyak yang menginginkannya untuk dijadikan suami siri,” terang Ayu (nama samaran), seorang perempuan Rembang berusia sekitar 35 tahun, kepada Surya, Kamis (18/2).
Sepanjang yang diketahui Ayu, nikah siri sudah membudaya di tempatnya. Wanita di daerahnya, rata-rata melakukan nikah siri hingga 3 sampai 4 kali. Bahkan di antara wanita sebayanya, ada yang sudah melakukan nikah siri hingga 29 kali. Selain itu, yang melakukan nikah siri lebih banyak berstatus janda.
Para wanita itu umumnya memberlakukan aturan khas, dan itu sepertinya sudah banyak dimaklumi. Setelah nikah siri dan suaminya tak nongol lagi lebih dari seratus hari, maka dianggap sebagai bercerai.
“Awalnya, sang wanita melakukan perkawinan yang tercatat. Karena cerai dan beban kehidupan lebih berat, si wanita akhirnya memutuskan nikah siri berkali-kali guna menopang kebutuhan ekonomi,” tutur Ayu yang sebetulnya agak keberatan untuk diajak bicara tentang nikah siri.
Namun tidak semua warga di Kecamatan Rembang, terutama yang wanita, melakukan nikah siri. Banyak keluarga yang tetap menjalani bahtera rumah tangga sesuai aturan yang berlaku. Hanya saja, karena melekatnya `stempel` sebagai daerah yang melonggarkan nikah siri, tak jarang membuat orang luar masih terus mendatangi Rembang untuk melirak-lirik adakah perempuan yang berpeluang untuk dinikahi siri.
Seringkali, anak perempuan akil baligh dari keluarga yang menikah tercatat resmi, juga diminta untuk dinikah siri oleh pendatang.
“Beratnya, kalau ditolak nanti dianggap sok atau megaya. Bahkan, jika kemudian tak ada yang melamar dan jadi perawan tua, dianggap kena kutukan kesombongan. Karena itu, banyak keluarga di sini yang anak perempuannya sudah akil baligh, buru-buru mereka dipondokkan ke pesantren,” jelas Ayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar