Para penganut nikah siri atau perkawinan `di bawah tangan` yang tidak tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sebaiknya kini mulai berpikir ulang. Sebab, nikah siri bakal dianggap sebagai pelanggaran pidana dan pelanggarnya bisa dihukum penjara.Selain nikah siri, kawin mut`ah atau kawin kontrak serta perkawinan kedua, ketiga dan keempat (poligami) yang tidak dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah, juga akan dipidana.
Hal-hal tersebut tercantum dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. Jika RUU ini nanti disahkan, maka para pelaku nikah siri, kawin kontrak dan poligami akan masuk dalam jeratan.
Terhadap RUU itu, sejumlah pihak di Jatim yang dihubungi Surya, Jumat (12/2), memberikan tanggapan beragam. Tanggapan keras, salah-satunya diungkapkan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim. “Saya sangat tidak setuju jika sanksi dijatuhkan kepada mereka yang menikah siri karena nikah siri jauh lebih baik daripada berbuat zina,” kata KH Mutawakkil Alallah, Ketua PWNU Jatim, saat dihubungi Surya, Jumat (12/2).
Sebagaimana dilansir Kompas, Jumat (12/2), beberapa pasal di draf RUU itu memuat ketentuan pidana. Yakni mulai dari hukuman pidana kurungan enam bulan hingga tiga tahun, serta denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Misalnya pada Pasal 143 disebutkan barangsiapa yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, maka didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan.
Sedangkan dalam Pasal 144 draft RUU itu diatur ancaman pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinan batal demi hukum bagi mereka yang melakukan perkawinan mut`ah atau kawin kontrak.
Draf RUU ini juga memberi ancaman pidana bagi pelaku poligami tanpa izin pengadilan, dengan pidana paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan. Mereka yang menceraikan istri tidak di depan pengadilan juga akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara (Pasal 146). Dan mereka yang menghamili perempuan yang belum nikah sehingga hamil dan menolak mengawini dipidana paling lama tiga bulan penjara (Pasal 147).
Draf RUU ini ditanggapi beragam kalangan agama, pelaku poligami dan aktivis gender. KH Mutawakkil Alallah mengatakan jeratan pidana bagi pelaku nikah siri bertentangan dengan syariah. Sesuai syariah Islam, jelas dia, persyaratan nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi tanpa ada ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah. Dan syarat ini dibenarkan semua madzab dalam Islam, mulai madzab Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali.
KH Mutawakkil khawatir jika RUU ini disahkan menjadi UU akan menuai protes luar biasa dari masyarakat serta menimbulkan azab yang besar. Azab itu bisa terjadi karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.
Sementara untuk nikah kontrak, menurut KH Mutawakkil, keabsahannya masih menjadi perdebatan ulama jika batas waktunya (kontrak) tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Namun jika batas waktunya disebutkan, sesuai madzab Syafi’i hal itu tidak sah.
KH Mutawakkil juga tidak sepakat ada ancaman pidana untuk pelaku poligami yang tidak izin ke pengadilan. Alasan dia, poligami adalah salah satu cara untuk menghindari perzinaan. “Bukan berarti saya mendukung poligami, saya hanya membela syariah agama. RUU ini mempersulit umat Islam. Saya khawatir malah mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan zina. Biarkan umat Islam melakukan secara bebas syariatnya. Tolong jangan campur tangan pada amaliah syariah yang bersifat personal. Menyangkut hukum agama, harus diperhatikan secara ilmiah dan amaliah. Maksudnya, bagaimana secara keilmuan benar sekaligus jadi kebutuhan masyarakat. Jangan membuat UU yang hanya mempertimbangkan sisi amaliah saja,” tutur KH Mutawakkil.
KSK Poligami
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Unair Surabaya, Dr Emy Susanti Hendrarso MA menilai, semangat RUU ini adalah untuk melindungi perempuan agar perempuan tidak masuk dalam perkawinan bermasalah.
Namun, ia menambahkan, jangan sampai jika disahkan nanti, aturan ini justru menjadi bumerang bagi perempuan. Artinya, harus ada pengecualian bagi pelaku nikah siri dengan alasan tidak punya uang (miskin) atau karena budaya.
“Dari para peserta perkawinan massal yang diadakan instansi-instansi, sering diperoleh informasi bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinannya selama ini karena miskin, tidak punya uang. Karena itu, terkait budaya dan kemiskinan, harus ada tafsir sendiri untuk nikah siri,” kata Emy, pengamat gender yang kini mencalonkan diri sebagai calon wali kota (cawali) Surabaya ini, Jumat (12/2).
“Jangan sampai maksud melindungi yang diupayakan oleh RUU ini, nanti malah akan mengancam perempuan jika akhirnya yang jadi korban dari sanksi itu adalah perempuan. Karena itu, harus ada sosialisasi dan bahasan sisi sosiologis terhadap aturan draf RUU ini. Mungkin perlu juga proyek percontohan dulu,” ucap Emy menambahkan.
Secara terpisah, pelaku poligami yang juga politisi Surabaya, Musyafak Rouf, tidak setuju dengan ancaman pidana dalam perkawinan siri maupun poligami. Ia menilai, ancaman pidana itu bertentangan dengan Alquran.
Musyafak berpendapat, di dalam Alquran tidak dijelaskan kewajiban untuk mencatatkan poligami ke instansi negara. Karena itu, jika RUU itu menegaskan adanya sanksi pidana, maka jelas itu menabrak hukum Alquran.
Musyafak sendiri menjalani poligami tanpa meminta izin dari pengadilan karena izin dari istri pertama sudah cukup baginya. “Alquran mengharuskan kita taat kepada Allah dan Rasul. Rasul sendiri melakukan poligami, berarti secara aturan agama itu diperbolehkan. Jadi tidak benar kalau harus dipidana karena poligami,” kata Musyafak.
Musyafak meminta pemerintah tidak berkutat mengurusi kemungkinan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri atau poligami. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan masalah kependudukan yang lain. Misalnya aturan pencatatan KSK (Kartu Susunan Keluarga) untuk pelaku poligami.
Selama ini, hanya di KSK istri pertama yang tercantum nama suami. KSK di istri kedua, tidak tercantum nama suami. “Ini yang harus diatur agar masalah kependudukan lebih tertib,” pinta Wakil Ketua DPRD Surabaya ini. http://www.surya.co.id/2010/02/13/nikah-siri-dipenjara-6-bulan.html
kapan Bangsa Indonesia mau maju selalu itu dan itu yang dibahas?,Lokalisasi saja tidak dilarang/dipidanakan? ibadah kok dilarang?,kasihan sebagian nasib dari mereka,perempuan miskin,tuna karya,dapat nafkah dari suami sirinya?emang Depag/Depsos mau biayai hidup mereka?mestinya mikir dulu mau bikin ide????
BalasHapus