Jika pun Karam, Karamlah...
KETIKA memutuskan menikah dengannya, tak pernah kubayangkan akan begini jadinya rumah tanggaku; hambar, tanpa senyum kebahagiaan. Padahal, rumah tangga ini kami bangun dengan cinta dan kepercayaan. Aku misalnya, telah terbiasa bekerja sedari kulian. Barangkali, keberadaannku sebagai keluarga yang pas-pasan, membuatku selalu ingin mandiri, dan tak ingin tergantung siapa pun. Berbeda dari suamiku, yang lahir dari kalangan berkecukupan. Hidup dia jalani dengan ringan, karier dan kerja, dia percayai akan hadir, menunggunya, kemudian. Karena itulah, ketika menikah, aku yang bekerja. Dia menganggur dan merokok saja.
Aku pun terbiasa dengan kondisi itu. Pagi bekerja, sore menjadi ibu rumah tangga, malam bercinta. Semua kuanggap biasa, pengorbanan untuk masa depan, cinta, dan cita-cita kami berdua. Seluruh biaya rumah tangga aku tanggung, tanpa satu pun keluhan. Aku percaya, kelak, ketika suami bekerja, dia akan membagi beban ini, bersama.
Barangkali, karierku yang cukup mapan di suatu biro jasa itulah yang membuat pikiranku ringan. Uang tersedia, karier punya, suami mencinta dan setia. Bahagia. Tak heran, kemudian aku hamil dan melahirkan dengan segera. Keluarga kami pun penuh suka cita. Sampai usia perkawinan ke lima....
Perusahaanku bekerja tak lagi memiliki posisi untukku di kota ini. Aku diminta ke kantor pusat di Jakarta, sesuai dengan promosi atas kinerjaku yang mereka nilai luar biasa. Penghargaan itu seharusnya aku terima dengan suka cita. Tapi, tak mungkin kutinggalkan kota ini, dengan segenap kisah cintaku, dan rumah tangga bahagia di dalamnya. Aku menolak, tapi kantorku tak punya kebiasaan ditolak karyawan. Hanya satu pilihan, aku ke Jakarta, atau melepaskan pekerjaan. Aku memilih kedua.
Situasi sulit akhirnya melanda rumah tanggaku. Dengan tabungan yang tak seberapa, rumah tanggaku mulai oleng secara ekonomi. Usia anak yang 4 tahun dan harus masuk TK, butuh biaya yang cukup besar. Aku mulai panik, dan sedikit bertengkar dengan suami. Karena, selama 5 tahun ini, dia memang tak bekerja, atau melemparkan lamaran. Pertengkaran kecil itu ternyata memacu egonya. Dia melamar, dan diterima bekerja. Dengan posisi yang lumayan di kantornya. Barangkali, koneksinya memang banyak, sehingga pekerjaan itu dengan cepat dia dapatkan. Aku bergembira.
Di saat bersamaan, aku pun kembali bekerja. Tapi, posisiku hanya staf biasa, dengan penghasilan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Tapi aku bersyukur. Kukira, kekurangan gajiku sekarang, telah ditutupi oleh karier suamiku. Nyatanya aku salah. Sejak awal, aku tak menerima gaji suami. Kalau kutanya, ada-ada saja alasannya. Untuk inilah, untuk itulah, akhirnya kami bertengkar. Untuk susu dan jajan anak saja, dia tak punya uang. Aku sampai bingung, sebenarnya dia kemanakan gajinya. Akhirnya, karena malas bertengkar, aku pun mencukup-cukupkan gajiku. Tak kuhiraukan dia, juga gajinya. Aku tak ingin, karena uang, rumah tangga ini jadi neraka. Aku berdamai saja dengan kondisi itu.
Tapi kediamanku ternyata lain di mata suami. Dia malah kian tak peduli, dan tak pernah memberi gaji. Aku mulai merasa aneh, dan terhina. Bayangkan, 5 tahun "kuhidupi" dia, tapi ketika dia mampu dan bekerja, tak ada sedikit pun sisa kebaikanku itu dapat kuterima. Malah, suamiku, ayah anakku itu, mendua. Tanpa dia sadari, aku mengetahui asmara keduanya. Kami pun bertengkar hebat, dan dia tak kuasa untuk mengakui bahwa dia memang telah mendua.
Sakit. Sakit sekali rasanya. Rumah tangga yang kubangun dengan segenap cinta dan percaya, ternyata berjalan di atas pondasi kebohongan dan perselingkuhan. Aku pun tak betah di rumah, merasa panas dan gerah. Karena itu, sisa waktuku setelah bekerja, kubaktikan untuk kegiatan lainnya. Lewat seorang teman, aku pun bersinggungan dengan sebuah partai politik. Aku menikmati sekali kegiatan itu, dapat melepaskan suntuk dan kecewa atas rumah tanggaku.
Di situ juga, aku kenal dengan Onh. Dari teman diskusi politik, hubungan kami akhirnya jadi dekat, dan dia kujadikan teman curhat. Tapi, kedekatanku dengan lelaki dalam kondisi rumah tangga yang demikian, memang berbahaya. Aku jadi gampang menemukan dan melihat "kebaikan" yang tak dipunyai suamiku. Dari sekadar teman curhat, pelan hubungan kami berubah menjadi teman berbagi nikmat. Entah bagaimana, apakah karena kecewa atau tuntutan dendam juga, tiba-tiba aku pun telah berselingkuh dengan Onh. Sebuah dosa yang begitu kusesali, tapi ketika terjadi, aku seperti burung yang masuk perangkap, tak ada jalan keluar lagi. "Kejahatan" suami membuatku bisa "membenarkan" perselingkuhanku. Kadang aku merasa betapa gilanya aku, tak bermoral dan beragama. Aku kadang stress dan goyang dengan keadaan ini. Tak percaya, bahwa akhirnya, karena kecewa, aku pun terperosol ke lubang yang sama dengan suamiku. Seperti dia, aku pun menjadi tak setia. Dalam kondisi waras dan sadar, aku jadi menangis sejadi-jadinya. Salah dan sesal, dosa dan hina, seakan ditumpahkan ke mukaku. Tapi, ketika ingat tingkah suami, aku tak punya cara lain untuk kuat dan lari, kecuali pada Onh. Aku tahu ini jalan yang salah, tapi aku tak bisa kembali.
Apakah suami tidak curiga? Kukira tidak. Onh adakah teman baiknya juga. Selain itu, suami sangat percaya bahwa aku mencintainya, dan takkan bisa hidup tanpa dia. Sebuah kepercayaan yang benar. Aku memang mencintainya. Dan karena itu, kalau pun aku berselingkuh, jauh di dasar hatiku, selalu terselib rasa tersiksa. Aku menjalaninya, karena jauh di dasar hati, aku tahu, suamiku telah lama tak lagi milikku. Hanya Onh itu saja yang bisa kumiliki, meski kepemilikan yang tak sempurna.
Dalam situasi yang kacau itu, muncul masalah baru. Suamiku punya utang. Dan utang itu atas namaku. Kok bisa? Ya begitulah, karena saat tak bekerja dulu, seluruh kartu kredit dan kegiatan keuangan lainnya, memakai namaku. Dan kini, ketika jatuh tempo, akulah yang menanggungkannya. Suami seperti lepas tangan begitu saja, dan berlaku seperti tak ada apa-apa. Aku begitu lelah menghadapi tekanan batin demikian. Dan itu berpengaruh ke fisikku. Jika stres demikian, aku acap mengalami pendarahan. Fisikku merespon kegalauan jiwaku, dan kian menambah ruwet masalahku.
Kini, aku terjebak dalam situasi yang tak kumengerti. Ada dua asmara di rumah tangga kami. Rumah tangga yang kami bangun dengan cinta dan percaya, kini berada dalam mulut dosa dan dusta. Aku tak tahu lagi harus bagaimana mengendalikan bahtera ini. Apakah akan karam atau dapat berlayar kembali, kuserahkan saja pada kehendak-Nya. Aku, sungguh, tak kuasa lagi, berpikir dan berharap memperbaikinya. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Kalau pun karam, karamlah. Au sudah teramat lelah, teramat lelah....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar