Sabtu, 20 Februari 2010

Kisah Para Duta Besar yang Bertugas di Negara-Negara ''Miskin''

GEDUNG Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pekan lalu sedang punya gawe. Hari itu, seluruh diplomat atau duta besar yang bertugas di 119 negara di dunia dikumpulkan. Tak sedikit di antara ratusan diplomat itu yang baru pulang ke tanah air setelah beberapa tahun berada di luar negeri. Jawa Pos yang ikut menyaksikan acara tersebut merasakan perbedaan cukup signifikan pada gaya dan pembawaan setiap perwakilan RI itu.

Penampilan beberapa perwakilan RI yang bertugas di negara-negara maju seperti di benua Eropa dan Amerika Serikat tampak lebih ''mengkilat'' daripada rekan-rekan mereka yang bertugas di negara-negara Afrika dan Asia. Sebaliknya, mereka yang bertugas di negara-negara berkembang atau di negara-negara miskin tampak lebih low profile. Penampilan mereka juga terkesan biasa-biasa saja.

Misalnya, Agus Mursito. Dia merupakan duta besar Indonesia yang bertugas di Paramaribo, Suriname. Menurut dia, bertugas di negara tertentu memang bisa memengaruhi pola berpikir dan kebiasaan seorang diplomat. ''Tapi, ada satu hal yang membuat kita semua sama. Yakni, nasionalisme. Semakin Anda jauh dari tanah kelahiran, rasa (nasionalisme) itu akan semakin teruji dan terasah,'' ujar pria kelahiran 6 September 1953 tersebut.

Agus lantas menceritakan pengalamannya bertugas di negara yang merdeka pada 25 November 1975 itu. Suriname, kata dia, memiliki hubungan emosional yang dekat dengan Indonesia. Bagi pemerintah Suriname, Indonesia merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaannya. Selain itu, mayoritas warga imigran di Suriname adalah keturunan Jawa. Karena itu, bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa nasional yang digunakan dalam berniaga dan berpolitik.

''Jadi, saya yang sudah memiliki basic bahasa Belanda lebih sering menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dengan warga setempat dan itu sangat meringankan tugas saya,'' ujar Agus yang asli Magelang, Jawa Tengah, tersebut.

Karena kedekatan historis itulah, tugas Agus menggalang diplomasi menjadi lebih mudah. Apalagi, cukup banyak masyarakat Jawa di Suriname yang menjaga tradisi Jawa. Misalnya, pada 9 Agustus mendatang, mereka akan memperingati hari pendaratan imigran Jawa pertama di Suriname pada 120 tahun lalu.

''Lazimnya, itu akan diperingati besar-besaran. Apalagi, November tahun ini juga akan diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Ke-35 Suriname. Jadi, acaranya pasti lebih meriah,'' paparnya.

Menariknya, jajaran pemerintah Suriname juga berisi sejumlah warga keturunan Jawa. Di antaranya kini duduk menjadi menteri sosial dan ketua parlemen Suriname. Dengan 492.829 penduduk, potensi untuk meningkatkan kerja sama bilateral dalam bidang budaya juga semakin mulus karena kedekatan itu. ''Yang menarik, ada salah seorang politikus Jawa yang akan maju menjadi presiden Suriname tahun ini. Jika dia berhasil, tentu ini adalah terobosan besar,'' terang Agus.

Salah satu yang menjadi penanda kedekatan poros Indonesia-Suriname adalah buku silsilah keluarga. Buku itu terdiri atas lima seri yang dibuat menteri dalam negeri Suriname. Dalam buku tersebut, setiap warga keturunan bisa mengetahui asal-usul mereka. Di buku itu dicantumkan foto keluarga, asal-usul, serta nama keluarga dengan lengkap.

Dengan demikian, warga Suriname yang keturunan Jawa bisa merunut asal-usul mereka dengan melihat buku tersebut. ''Sayang, saat ini generasi keempat keturunan Jawa di sana mulai kehilangan budaya. Mereka lebih banyak berbahasa Taki-Taki atau berbahasa Belanda,'' kritiknya.

Berbeda dari Agus, bertugas sebagai wakil pemerintah RI merupakan tantangan tersendiri bagi Eddy Setiabudhi. Pria 50 tahun yang bertugas sebagai duta besar RI di Dili, Timor Leste, tersebut menyatakan sempat mengalami kesulitan menyesuaikan ritme bekerja. Sebab, kondisi keamanan di bekas wilayah RI itu memang rentan. ''Kini memang sudah kondusif. Tapi, dulu saya sempat merasakan hari-hari di mana konflik masih terjadi,'' ungkapnya.

Pada 2003, kata Eddy, suasana di Timor Leste masih rentan. Indikasinya, ketika berkeliling kota untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pokok, dirinya sering dipalak preman-preman lokal. Mengetahui bahwa korban adalah orang Indonesia, para preman itu sering meminta uang dan rokok dengan bahasa Indonesia.

''Tapi, paling sering mereka minta rokok. Jangankan memikirkan kekebalan diplomatik, kalau berurusan dengan preman seperti itu, mungkin hanya keamanan yang kami utamakan,'' kenang bapak empat anak tersebut.

Pada masa konflik disintegrasi Timor Timur, kerap terjadi sweeping dan intimidasi oleh warga yang prokemerdekaan. Kebiasaan itu, kata Eddy, terbawa sampai beberapa tahun setelah kemerdekaan Timor Leste. Hal tersebut diperparah oleh kekuatan kepolisian dan tentara nasional Timor Leste yang belum cukup matang karena kebanyakan direkrut dari milisi dan masyarakat sipil.

Tapi, kini setelah pasukan kepolisian PBB (UNPol) bertugas hampir satu dekade, kondisi sudah membaik. Namun, ujar dia, intimidasi juga masih dilakukan warga setempat di sekitar KBRI dan kompleks perumahan diplomat Indonesia. ''Ya paling mereka cuma teriak-teriak di luar gerbang dan melempar batu. Tapi, itu sudah biasa. Kalau kami panggil polisi, mereka sudah bubar,'' ujar Eddy ringan.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, tersebut menuturkan, rentannya keamanan itu dipicu kemiskinan dan tingginya pengangguran. Berdasar sensus, tingkat pengangguran di Timor Leste menyentuh angka 65 persen.

Di antara jumlah itu, sebagian besar didominasi pemuda berusia 25 tahun ke bawah. Karena itu, dengan upaya meningkatkan keamanan, pemerintah Timor Leste antusias mengirimkan pelajar ke Indonesia. ''Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi kita semua warga Indonesia,'' terangnya.

Secara kultural, sampai sekarang warga Timor Leste bahkan masih menggunakan istilah rupiah untuk mata uang mereka dalam perdagangan sehari-hari. Padahal, mata uang yang digunakan di sana adalah dolar Amerika. ''Jadi, ada banyak wilayah di pedalaman yang transaksinya menggunakan istilah rupiah. Misalnya, dia bilang dua ribu itu berarti dua dolar. Hal itulah yang mendekatkan emosi kami,'' ujar Eddy.

Namun, antusiasme terhadap budaya Indonesia tersebut kerap tidak terfasilitasi secara baik. Eddy menyatakan, sebagai bentuk bantuan kepada pelajar Timor Leste, KBRI mendirikan sebuah perpustakaan di sebuah bekas restoran. Perpustakaan di bangunan yang didesain untuk restoran itu menyimpan ratusan koleksi buku berbahasa Indonesia.

''Ya kami prihatin karena tidak mendapat persetujuan mendirikan bangunan dari pemerintah. Gedung restoran itu merupakan sumbangan pengusaha lokal,'' ungkapnya. http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=118137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar