Senin, 22 Februari 2010

Dalam Mimpi Dua Lelaki

Pembaca yang budiman, di sini pada kesempatan yang baik ini pula, aku ingin mnegajak pembaca sekalian untuk ikut merasakan apa yang aku rasakan dalam kehidupanku ini.

Curahan hatiku yang akan aku beberkan semua di sini tanpa harus membuka jati diriku yang sesungguhnya. Mungkin semua orang atau bahkan seluruh dunia bila melihatku pasti langsung bisa menebak kalau aku seorang gadis yang amat sangat lugu dan polos, terlihat dari penampilanku, gaya bicaraku, cara pandangku, jalan pikiranku. Semuanya setuju memvonis kalau aku gadis yang lugu.

Nah, mungkin dari kepolosanku itulah ladang usaha bagi seseorang untuk membodohiku bahkan sampai menyakitiku.

Tepatnya waktu aku berumur 21 tahun datanglah seorang pemuda ke dalam kehidupanku. Mungkin dari kepolosanku waktu itu, aku langsung mengiyakan ketika dia mengajak berpacaran. Juga dari keluguanku itulah aku berpikir, bahwa semua pemuda itu baik, sehingga aku berani memutuskan pacaran walaupun baru dalam 2 minggu perkenalan.

Hari-hariku menjadi indah, dunia seakan milik berdua. Karena itu adalah cinta pertamaku. Kenangan yang tak pernah tergantikan. Khayalanku pun semakin tinggi, aku berharap dia adalah lelaki yang diciptakan untukku, jadi pasanganku, jadi jodohku untuk yang pertama dan terakhir dalam kehidupanku.

Tapi mimpi tak selamanya jadi kenyataan, keinginan tak selamanya bisa terwujud, dan khayalan tak selamanya sesuai harapan.

Saat kubuka dan kubaca surat beramplop kuning, di bait terakhir bertuliskan "semoga dukamu hari ini menjadi senyummu di hari esok". Hatiku hancur berkeping-keping. Cinta pertamaku putus di tengah jalan. Aku tidak bisa menerima semua ini. Dia lebih memilih wanita lain yang memang jauh lebih segala-galanya dari diriku. Sedangkan aku hanya punya cinta dan kesetiaan. Tak lebih dari itu.

Mimpiku musnah sudah. Rencana pernikahan yang pernah kami rancang, harus aku kubur sendiri dalam-dalam. Saat itu aku hanya bisa menangis dan larut dalam kesedihan. Dalam kegelisahanku, aku pernah berniat untuk mengakhiri hidupku. Alhamdulillah, karena sedikit bekal ilmu agama aku mengurungkan niatku, bahwa seseorang tak berhak meminta paksa nyawa seseorang apalagi nyawanya sendiri. Tapi aku harus bangkit, aku harus menerima dan siap menghadapi kenyataan terburuk sekalipun. Mungkin itu adalah konsekwensinya orang bercinta. yah, patah hati.

Perlahan namun pasti, itulah yang aku rasakan waktu itu. Aku mulai membuka lembaran-lembaran hidupku yang baru dan menutup rapat-rapat kenangan masa laluku yang suram.

Enam bulan berlalu, ada peristiwa yang tak pernah terlupakan dalam hidupku. Aku dipaksa kawin orangtuaku dengan seseorang yang sama sekali tidak aku cintai. Terasa belum pulih ingatanku tentang cinta pertamaku yang putus di tengah jalan, sudah ada masalah yang siap menanti.

Hatiku hancur manakala orangtuaku menyetujui pernikahan itu. Mengapa mereka tidak menanyakan hal itu kepadaku, bukankah itu hak seorang gadis untuk menerima atau menolak pinangan seseorang?

Dua bulan kemudian pernikahan itu berlangsung. Aku mungkin bisa saja menggagalkan pernikahan itu dengan cara kabur atau apalah, tapi itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Aku harus menjaga nama baik keluargaku di mata masyarakat, walaupun harus dengan mengorbankan diriku sendiri.

Ketika aku resmi menjadi seorang istri, aku hanya bisa berharap ini adalah yang terbaik untukku. Awal dari kebahagiaanku. Tapi aku merasa diriku ditakdirkan hanya untuk menderita. Kebahagiaan seakan sealalu menjauh dari kehidupanku. Semua yang aku impikan dalam pernikahanku ternyata awal dari penderitaan hidupku yang sesungguhnya.

Pertama mneginjakkan kaki di rumah suamiku, aku disambut wajah masam oleh ibu mertuaku, pertanda ketidaksukaannya padaku. Tapi mengapa dia tidak menghentikan saja pernikahanku bila tidak bisa menerima kehadiranku? Seandainya dia tidak mengijinkan pernikahan itu terjadi, aku pasti akan berbahagia dan tidak akan merasakan semuanya ini. tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus tegar menjalani semua ini.

Hari-hari bertambah kelam. Seperti di neraka, panas dan membosankan. Sebutan kere dan sial selalu mnejadi makanan sehari-hariku, apalagi bila suamiku tidak ada di rumah, aku seperti mendengarkan radio non-stop yang selalu mengusik panas di telinga. Aku memang selalu mengeluh pada Tuhan, mengapa kau mendapat suami yang sama sekali tidak aku cintai dan ibu mertua yang sangat membenciku.

Selang beberapa bulan aku hamil, dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Aku berharap dengan melahirkan cucunya, ibu mertuaku bisa mengubah sikapnya ke aku. Ternyata tidak sama sekali, ia masih tetap acuh tak acuh kepadaku.

Akhirnya kami berdua sepakat untuk mempunyai rumah sendiri. Aku mulai membuka diri untuk suamiku. AKu merasa sangat membutuhkannya. Dia memang suami yang baik dan bertanggung jawab. Perlahan aku mulai mencintainya. AKu juga merasa sangat bahagia karena sudah tidak satu atap lagi dengan ibu mertuaku. Tapi kebahagiaan itu hanya sekejap aku rasakan. Dia masih saja mengganggu kehidupan rumah tanggaku.

Tak beberapa lama, ibu mertuaku mengalami sakit keras. kabar yang sangat mengagetkan, lebih mengagetkan lagi ketika dia memberikan pilihan kepada suamiku; melihat ibunya meninggal atau harus menceraikna istrinya. Dua hal yang sangat membingungkan hati suamiku, antara ibu yang telah melahirkan dan membesarkan atau istri yang telah memberikan keturunan.

Aku bingung, dalam kondisi seperti itu pun ibu mertuaku masih saja membenciku, hanya karena kau terlahir dari keluarga yang tidak mampu.

Ketakutan yang kusimpan sendiri akhirnya terjawab sudah. Suamiku lebih memilih ibunya daripada harus mempertahankan rumah tangganya. Seperti disambar gledek di siang bolong ketika suamiku mengucapkan talak satu kepadaku. Linangan air mata tak terbendung lagi. Rasa cinta yang mulai kupupuk kini luntur sudah bersamaan dengan derasnya air mata yang mengalir. rasa itu lebih menyakitkan daripada cinta pertamaku yang putus di tengah jalan. Tapi aku harus kuat menjalani semua ini. Aku tidak boleh larut dalam kesedihan, karena itu perbuatan sia-sia, seperti membuang garm ke laut.

Aku memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuaku. Dengan status janda ku orang-orang di sekelilingku mulai membicarakanku. Singkat cerita, aku dipertemukan kembali dengan cinta pertamaku yang kebetulan sudah meduda selama dua tahun karena dicampakkan istrinya. Aku bersimpati kepadanya seolah aku lupa akan semuahal menyakitkan yang pernah dilakukan kepadaku. Karena status yang sama, akhirnya kami semakin dekat. benih-benih cinta kini mulai tumbuh kembali, istilahnya cinta lama bersemi kembali.

Kebahagiaan serasa menghampiri kehidupanku waktu itu. tapi di tengah kebahagiaan itu, datang mantan suamiku. Dia mengajakku rujuk kembali. Dia merasa sudah tidak ada yang menghalangi untuk hidup bersamaku lagi, karena ibunya sudah meninggal. Dia ingin kumpul lagi seperti dulu, bahagia bersama ayah-ibunya. Sedangkan aku seperti mendapat tekanan batin. Aku sudah terlanjur janji untuk hidup bersama dengan cinta pertamaku.

Aku dihadapkan pada persoalan yang rumit. Dihadapkan pada dua lelaki yang pernah masuk dalam kehidupanku sekaligus yang pernah menyakitiku. Aku bingung dengan semua ini. Satu sisi aku ingin hidup bahagia bersama cinta pertamaku, juga aku merasa tidak sanggup berpisah darinya. Sisi lain bila kau melihat buah hatiku, orang yang paling aku sayangi di dunia ini, menderita, aku paling tidak tega. Aku tidak tega menghancurkan harapannya untuk kumpul bersama ayah dan ibunya.

Pembaca, seandainya itu terjadi pada Anda, siapakah yang akan Anda pilih? Haruskan menuruti ego dan buah hati menderita, ataukah menuruti sang buah hati tapi hati terasa tersiksa? Aku mohon pecahkanlah permasalanku...

1 komentar:

  1. pilih suaminya aja pengen rujuk bu...krn selama ini hnya tekanan dr ibunya...kalo ibu pilih mantan pacar....alamat ditinggal kembali lebih besar...apalgi ada anak...

    BalasHapus