Selasa, 09 Februari 2010

Kehidupan Malam Jakarta Kramat Tunggak Tak Hitam Lagi

Suara adzan menggema dari menara masjid yang megah dan menjulang tinggi. Tak lama kemudian, sejumlah warga berdatangan menuju kompleks yang luas itu. Orang-orang bergerak dari dalam dan luar masjid menuju tempat wudhu.Begitulah aktivitas di Masjid Raya yang terdapat di kompleks Jakarta Islamic Center (JIC), yang berdiri di bekas areal Lokalisasi Kramat Tunggak di Jl Kramat Raya, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
JIC diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada 2002 dan bisa menampung sekitar 6.500 jamaah. Masjid ini juga selalu diramaikan pengajian majelis taklim ibu-ibu di wilayah Jakarta. Belum lagi acara keagamaan, seperti Maulid Nabi, puasa di bulan Ramadhan, bazaar dan pelatihan lainnya.
Bila siang hari, sejumlah anak-anak juga bersekolah di kawasan JIC. Pengurus JIC membuka program pendidikan dasar bagi anak-anak, seperti Taman Kanak-kanak (TK) atau Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA). Persis di depannya terdapat Koja Trade Center, sehingga menambah keramaian di kawasan ini."Susasana di sini kontras dan beda dengan 10 tahun lalu. Kalau dulu ramainya, banyak perempuan seliweran di jalanan. Waduh, pokoknya jauh beda lah," ungkap Rahman, salah seorang warga Koja, Jakarta Utara kepada detikcom yang ditemui di lokasi, Selasa (19/1/2009) malam.
Rahman sudah puluhan tahun tinggal di Koja ini. Menurut dia, sebelum Lokalisasi Kramat Tunggak atau yang dikenal Kramtung ditutup Pemprov DKI Jakarta pada tahun 1999, kawasan ini hampir 24 jam dibuka. "Nggak pagi, siang atau malam, ramai terus. Orang pada datang dari mana saja. Tapi setelah banyak diprotes ya ditutup. Sekarang kawasan ini lebih agamis, kalau dulu hitam sekarang jadi putih," jelasnya sambil tersenyum.
Kompleks JIC mulai dibangun di atas tanah seluas 10,9 hektar pada tahun 1999 silam. Kompleks ini terbagi dalam beberapa bangunan, untuk masjid sekitar 14.625 meter persegi. Bangunan sosial, kebudayaan dan pendidikan seluas 10.432 meter persegi, bangunan museum seluas 3.540 meter persegi, penginapan seluas 8.640 meter persegi, perkantoran sekitar 2.880 meter persegi dan pusat perbelanjaan sekitar 3.600 meter persegi.
Dana pembangunannya memakai biaya APBD DKI Jakarta dan sumbangan sejumlah negara Islam lainnya. JIC dimaksudnya sebagai tempat peribadahan, pendidikan sekaligus bisnis (perdagangan). Diharapkan JIC ini menjadi contoh terbentuknya Islamic Centre di Indonesia dan Asia Tenggara.
JIC dibangun terkait buntut protes masyarakat, ulama dan Pemprov DKI Jakarta. Mereka mulai gerah dengan keberadaan Lokalisasi Kramtung yang bernama Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak yang dibuka pada tahun 1970-an. Lokalisasi ini dulunya mendiami wilayah RW 019 dan memiliki 9 RT.
Dari data JIC dan Pemprov DKI Jakarta, Lokalisasi Kramtung pada awal dibuka memiliki sekitar 300 orang wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) dan 76 germo atau mucikari. Tiap tahun, jumlah mereka terus bertambahg. Saat Kramtung ditutup, jumlahnya sudah naik 5 kali lipat menjadi 1.615 orang PSK di bawah asuhan 258 orang mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.
Tentunya perkembangan ini membuat pemerintah daerah, ulama dan sebagian masyarakat prihatin. Mereka meminta Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak ditutup. Penutupan Kramtung sendiri berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No 495/1998 yang berisi tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Secara resmi penutupan dilakukan pada 31 Desember 1999 sesuai surat gubernur.
Setelah lahan Lokalisasi Kramtung dibebaskan pemerintah DKI Jakarta, muncul ide pembangunan mal, perkantoran dan lain sebagainya. Namun Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso justru meminta agar lahan itu dibangun Jakarta Islamic Centre. Baru pada tahun 2002 dimulai pembangunan JIC tersebut.
http://www.detiknews.com/read/2010/01/20/154024/1282572/159/kramat-tunggak-tak-hitam-lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar