Kaum laki-laki dan perempuan sebaiknya mulai berpikir ulang jika hendak melakukan perkawinan yang tidak dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah atau nikah siri dan perkawinan mutah atau kontrak. Pasalnya, pelaku kedua jenis perkawinan itu dapat dipidana penjara.Hal itu terungkap dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010.
RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Dalam kaitan mencari masukan materi RUU itu, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) akan menggelar seminar nasional, pekan depan. Ketua panitia seminar, Abdul Gani Abdullah, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Kamis (11/2/2010) di Jakarta, menjelaskan, RUU itu akan menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam.
Pasal krusial
Abdul Gani mengakui, terdapat beberapa pasal krusial dalam RUU itu, terutama terkait ketentuan pidana. Pasalnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa menikah adalah ibadah. ”Ibadah kok dihukum,” ujarnya.
Menurut dia, selama ini pernikahan di bawah tangan sering kali dijerat dengan pasal perzinahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ada ketentuan di KUHP yang menyatakan, seorang lelaki atau perempuan yang melakukan hubungan di luar perkawinan sah adalah perzinahan.”Apakah nikah siri itu zinah? Bisa bukan karena sah menurut hukum agama. Masalahnya adalah mengapa perkawinan itu tidak dicatatkan ke pejabat pencatat nikah. Itu salah siapa? Ada pandangan masyarakat yang harus aktif, tetapi ada pula yang berpendapat pemerintah harus aktif. UU ini mau menyinkronkan realitas yang ada dan segi hukum,” ujar Abdul Gani.
Ia menjelaskan, RUU tersebut perlu mengatur tentang kawin kontrak mengingat sebenarnya perkawinan semacam itu memang tak dikenal dalam hukum Islam. UU Nomor 1 Tahun 1974, ujarnya, tak mengatur secara jelas hal-hal itu. UU Perkawinan malah tidak mengenal aturan pidana. Saat itu ada gagasan untuk memuat ketentuan pidana perkawinan dalam peraturan pelaksanaannya.”Sebelum peraturan itu ditandatangani, Presiden minta masukan dari ulama. Saat itu ulama mengatakan, nikah adalah ibadah, tetapi mengapa dihukum,” ujarnya lagi. Hukuman pidana pun akhirnya diganti dengan denda sebesar Rp 7.500.Hasbi Hasan, seorang hakim agama yang ditugaskan di Mahkamah Agung, menjelaskan, ketentuan UU Perkawinan mengenai denda itu sudah tidak relevan lagi
RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Dalam kaitan mencari masukan materi RUU itu, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) akan menggelar seminar nasional, pekan depan. Ketua panitia seminar, Abdul Gani Abdullah, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Kamis (11/2/2010) di Jakarta, menjelaskan, RUU itu akan menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam.
Pasal krusial
Abdul Gani mengakui, terdapat beberapa pasal krusial dalam RUU itu, terutama terkait ketentuan pidana. Pasalnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa menikah adalah ibadah. ”Ibadah kok dihukum,” ujarnya.
Menurut dia, selama ini pernikahan di bawah tangan sering kali dijerat dengan pasal perzinahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ada ketentuan di KUHP yang menyatakan, seorang lelaki atau perempuan yang melakukan hubungan di luar perkawinan sah adalah perzinahan.”Apakah nikah siri itu zinah? Bisa bukan karena sah menurut hukum agama. Masalahnya adalah mengapa perkawinan itu tidak dicatatkan ke pejabat pencatat nikah. Itu salah siapa? Ada pandangan masyarakat yang harus aktif, tetapi ada pula yang berpendapat pemerintah harus aktif. UU ini mau menyinkronkan realitas yang ada dan segi hukum,” ujar Abdul Gani.
Ia menjelaskan, RUU tersebut perlu mengatur tentang kawin kontrak mengingat sebenarnya perkawinan semacam itu memang tak dikenal dalam hukum Islam. UU Nomor 1 Tahun 1974, ujarnya, tak mengatur secara jelas hal-hal itu. UU Perkawinan malah tidak mengenal aturan pidana. Saat itu ada gagasan untuk memuat ketentuan pidana perkawinan dalam peraturan pelaksanaannya.”Sebelum peraturan itu ditandatangani, Presiden minta masukan dari ulama. Saat itu ulama mengatakan, nikah adalah ibadah, tetapi mengapa dihukum,” ujarnya lagi. Hukuman pidana pun akhirnya diganti dengan denda sebesar Rp 7.500.Hasbi Hasan, seorang hakim agama yang ditugaskan di Mahkamah Agung, menjelaskan, ketentuan UU Perkawinan mengenai denda itu sudah tidak relevan lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar