Selasa, 09 Februari 2010

Para Penyapu Malam Sudah Gaji Disunat, Jadi Korban Tabrak Mobil Pula

Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta masih sepi selepas subuh hari itu, Sabtu (23/1/2010). Baru satu dua kendaraan yang melintas. Marhali (42) menyapu dedaunan kering di pinggiran jalur cepat. Dia memilih berjalan mundur sambil menyapu, dan itu bukannya tanpa alasan."Kalau pagi, mobil pada ngebut karena jalanan sepi. Saya takut tertabrak kalau tidak melihat ke belakang," jelas bapak 2 anak tersebut saat ditemui detikcom.
Kekhawatiran Marhali bukan tanpa sebab. Beberapa temannya, sesama tukang sapum, menjadi korban tabrak lari saat membersihkan jalanan di waktu malam. Bahkan, sampai ada tukang sapu yang meninggal dunia. Yang membuat Marhali semakin was-was, perusahaan tempatnya bekerja tidak memberi uang santunan sepeser pun jika ada tukang sapu yang tertabrak.
Seorang sahabat Marhali, Amin (62), mengalami nasib naas pada pertengahan 2008 lalu. Saat sedang menyapu malam hari di Jalan Gatot Subroto, sebuah mobil menabraknya sambil ngebut. Sang penabrak bahkan langsung kabur melihat kakek ini tersungkur di trotoar.
Amin mengalami luka serius, namun perusahaan tidak memberikan tunjangan apapun. Kakek ini pun dirawat sekadarnya oleh keluarga di rumah. "Kasihan betul nasib Pak Amin waktu itu. Saya dan teman-teman terpaksa patungan untuk membantunya. Memang duit yang terkumpul nggak seberapa sih," ujarnya.
Pak Amin dan Marhali bekerja pada perusahaan yang sama, yakni di PT Murim Abadi. Upah yang diterima Amin dan Marhali tentunya juga sama. Keduanya hanya dibayar Rp 21 ribu per hari. Tidak ada uang makan atau tunjangan apapun dari perusahaan.
Marhali mengaku, mulai bekerja sebagai tukang sapu sejak 2007. Sebelumnya ia bekerja di sebuah supermarket yang terletak di wilayah Kemang, Jakarta Selatan. Setelah dia di-PHK karena supermarket itu bangkrut, Marhali akhirnya memilih menjadi tukang sapu. Hanya pekerjaan itulah yang bisa dia dapatkan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya.
Karena penghasilan yang sangat minim, sampai-sampai dia tidak mampu mengontrak rumah. Marhali dan keluarganya terpaksa menumpang di rumah orangtuanya di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. "Kalau saya mengontrak rumah, nanti kami mau makan dari mana?" kata Marhali risau.
Sehari-hari, Marhali menyapu jalanan mulai dari jembatan layang Karet sampai jembatan Semanggi. Dia sudah berada di jalanan sejak 04.30-11.00 WIB. Marhali lalu beristirahat 2 jam. Kemudian, dia kembali menyapu mulai pukul 13.00-17.00 WIB.
Kondisi yang dialami Marhali dan seluruh tukang sapu jalanan di Jakarta memang memprihatinkan. Meski harus kerja tanpa libur dan berisiko tinggi namun upah yang diterima jauh dari cukup, yakni masih di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang besarnya Rp 1.180.000.
Budiman, mantan konsultan Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengatakan, Dinas Kebersihan DKI Jakarta sudah membayar sesuai UMP. Namun kenyataannya uang untuk para penyapu ini disunat perusahaan yang jadi rekanan Dinas Kebersihan. Besarnya uang untuk tukang sapu yang dipotong, ujar Budiman, rata-rata Rp 300 ribu sampai Rp 450 ribu.
Namun diakui Budiman, penyunatan upah para tukang sapu oleh perusahaan bukan tanpa sebab. Perusahaan rekanan ini setiap bulan harus menyetor upeti kepada sejumlah pejabat di Pemprov DKI Jakarta. Mulai dari Lurah, Camat hingga pejabat suku dinas selalu meminta jatah ke perusahaan. Untuk melayani upeti tersebut akhirnya gaji tukang sapu yang diambil.
Akal-akalan perusahaan kebersihan tidak sampai di situ. Dalam perjanjian dengan Dinas Kebersihan, seharusnya perusahaan menugaskan satu orang untuk membersihkan jalanan sepanjang 1 kilometer. Namun di lapangan rata-rata tukang sapu membersihkan jalanan hingga 3 kilometer."Perusahaan dalam pengajuannya ke Pemprov DKI mempekerjakan 100 orang. Tapi di lapangan petugas yang dikerahkan hanya separuhnya. Padahal uang yang dibayarkan Pemprov kepada perusahaan itu untuk 100 orang," beber Budiman yang pernah bekerja sebagai konsultan kebersihan di Jakarta sejak 2004-2006.
Terkait nasib para tukang sapu ini, Ketua Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Kiagus Ahmad mengatakan, tindakan Pemprov DKI Jakarta telah melanggar 2 pasal dalam UU No 13 Tahun 2003. Sebagai petugas kegiatan inti, yakni di bawah Dinas Kebersihan, para penyapu jalanan tidak bisa di outsourcing. Sementara pelanggaran lainnya, Pemprov tidak membayar upah sesuai UMP."Pekerjaan tukang sapu itu tidak bisa dioutsourcing. Sebab kegiatan yang mereka lakukan merupakan pekerjaan inti dari Dinas kebersihan. Kalau kemudian Pemprov melakukan outsourcing jelas melanggar aturan. Ini harus segera ditindak," tegas Kiagus kepada detikcom.
enurut Kiagus, pelimpahan tugas kebersihan kepada perusahaan outsourcing sengaja dilakukan para pejabat Dinas Kebersihan untuk mencari ladang bisnis buat kolega atau keluarganya. Jika ditelusuri, banyak perusahaan outsourcing yang dimiliki keluarga atau kolega para pejabat.
Ironisnya, ladang bisnis pejabat ini justru menggerus penghasilan yang harusnya diterima para tukang sapu. Padahal mereka hanyalah buruh rendahan yang hidupnya sangat memprihatinkan. "Harusnya Pemprov membayar langsung upah para tukang sapu sesuai UMP. Jangan lewat perantara atau perusahaan outsourcing," tandas Kiagus.
http://www.detiknews.com/read/2010/01/25/170913/1285793/159/sudah-gaji-disunat-jadi-korban-tabrak-mobil-pula

Tidak ada komentar:

Posting Komentar